rosestyongg

319; Sampai berjumpa lagi.


Kalu bersandar di kursi penumpang dengan tangan kanan yang sibuk memegang ponsel dan menggigit kukunya—gelisah. Devano yang berada di sampingnya hanya menghela nafasnya.

Mereka berdua sudah tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta sekitar satu jam yang lalu. Namun sampai saat ini, orang yang akan ditemui Kalu masih tidak memberinya kabar. Sementara Devano hanya diam sambil memainkan ponselnya. Ia sengaja tidak bertanya banyak ke Kalu karena gadis di sebelahnya sedang tidak mood untuk ditanya-tanya.

Jika kalian bertanya mengapa Devano bisa ikut menemani Kalu, alasannya karena Devano takut kalau Kalu sampai kenapa-napa. Ia takut jika ada hal buruk yang terjadi ke Kalu jika ia biarkan pergi sendiri menemui Clara. Apalagi Clara adalah orang yang membuat Kalu celaka tempo hari lalu.

Sudah berulang kali Kalu mencoba menelfonnya, tapi nihil, tidak ada jawaban dari Clara. Padahal jelas-jelas jam sudah menunjukkan angka 3, di mana sudah lewat satu jam dari perjanjian mereka.

Kalu langsung mendesis pelan karena lelah menunggu kabar dari Clara. “Hei, mau pulang aja?,” tanya Devano. Ia sendiri tak tega melihat kekasihnya yang dilanda rasa gelisah.

Kalu menggeleng. Ia tidak mau pulang sebelum bertemu Clara. Walaupun sebenarnya tujuan kedatangannya ke sini belum jelas, karena Clara secara mendadak memintanya datang ke bandara, namun Kalu yakin, kalau saat ini Clara sedang tidak main-main dengannya.

15 menit menunggu, sampai akhirnya ponsel Kalu berbunyi. Tertera nama seseorang yang sudah ia tunggu sejak tadi di layar ponselnya. Tanpa menunggu lebih lama, Kalu pun langsung mengangkat telfonnya. “Halo?”

“Lo di mana?,” sahut Clara di seberang sana.

“Gue masih ada di mobil. Lo di mana, Clar?”

“Gue ada di pintu masuk deket parkiran. Lo ke sini, deh.”

Setelah berbicara dengan Clara, Kalu dan Devano langsung bergegas menghampiri Clara. Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka mencari Clara. Dengan melihat pakaian perempuan yang cukup nyentrik, mereka sudah tahu kalau dia adalah Clara. Perempuan yang saat ini menggunakan atasan crop berwarna krem dengan cardigan pink neon, dipadukan dengan kulot berwarna navy, serta sepatu hitam. Membuat Clara dari tadi mendapatkan perhatian dari banyak orang karena pakaiannya yang cukup mencolok.

Namun dibanding itu semua, Kalu justru fokus terhadap dua koper yang ada di sebelah Clara. Dalam hati ia berdoa, semoga apa yang ia pikirkan semalam tidak kejadian.

“Lama banget, sih.” Clara langsung protes karena dirinya yang sudah lama menunggu Kalu di sini. Sementara Kalu dan Devano yang baru tiba, langsung emosi.

“Harusnya kita yang bilang gitu ke lo. Kita udah nungguin lo selama sejam lebih di sini. Lo dichat sama ditelpon Kalu juga ga ngejawab sama sekali,” Devano berucap dengan suaranya yang dibuat sehalus mungkin agar tidak ketahuan Kalu kalau ia sedang emosi.

Tanpa rasa salah sedikitpun, Clara dengan santai menjawab. “Pesawat gue delay, baru flight jam 5. Makanya gue baru dateng sekarang. Tadi di jalan juga sinyal gue jelek, jadi ga bisa ngabarin Kalu.”

“Lo mau ke mana?” Kalu bertanya dengan bingung. Pasalnya ini terlalu mendadak.

Sebelum menjawab pertanyaan Kalu, Clara justru memberikan Kalu sebuah kotak dengan logo dari brand aksesoris ternama di atasnya. Kalu sempat bingung sesaat, namun tangannya sudah ditarik paksa agar menerima pemberian dari Clara.

“Kalung buat lo. Dipake ya, anggap aja kenang-kenangan dari gue.”

“Jawab dulu pertanyaan gue, Clara. Lo mau ke mana?”

Clara terkekeh. Ia bahkan tidak percaya akan mengatakan ini ke Kalu, namun sepertinya ini adalah waktu yang tepat. “Gue mau pergi ke Paris. Gue bakal kuliah dan tinggal di sana. Lo inget cita-cita gue dulu, kan? Gue mau raih cita-cita gue sebagai desainer di sana.”

Kalu menatap Clara tidak percaya. Rasanya saat ini seperti mimpi bagi Kalu. “Tapi kenapa mendadak gini, Clar?”

“Sebenernya ini udah gue planning dari lama. Cepat atau lambat gue emang bakal lanjutin kuliah gue. Gue bakal mulai semuanya dari awal… tapi bukan di sini. Gue ga bisa harus mulai semuanya dari awal di negara ini, Kalu. Terlalu banyak hal yang bikin gue sakit hati dan rasa bersalah gue ke lo yang sangat banyak, itu yang bikin gue mutusin untuk tinggal di Paris.”

“Lo ga harus pergi ke sana, Clara… lo ga usah mikirin apa yang udah lo lakuin ke gue selama ini karena gue udah maafin lo dari lama. Bahkan gue ga pernah marah ke lo atas apa yang udah lo perbuat ke gue. Jadi please… jangan pergi ya?” Kalu meraih tangan Clara supaya bisa menghentikan Clara pergi. Namun nasi sudah jadi bubur, Clara tetap akan pergi ke Paris, apapun yang terjadi.

“Makasih banyak Kalu karena lo udah selalu baik ke gue. Tapi maaf, kali ini gue bener-bener harus pergi. Gue merasa ga pantas buat masih ada di sini, apalagi tindakan gue yang bikin lo tenggelam kemarin udah tersebar luas, udah ga ada harapan juga buat gue tetep ada di sini. Karir gue udah jatuh, udah ga ada lagi yang percaya sama gue, bah—“

“Ada, gue yang percaya sama lo,” potong kalu.

Clara tertawa. “Oke, gue percaya. Tapi sekarang gue harus pergi, soalnya satu setengah jam lagi pesawat gue udah lepas landas.”

“Lo beneran mau pergi?”

“Masih belum jelas ucapan gue tadi?”

Kalu lemas. Ia gagal menahan Clara untuk tetap tinggal di sini. Dan Ia gagal menjadi sahabat yang baik untuknya.

“Jangan sedih dong. Gue di sana ga bakal selamanya kok. Mungkin 6 tahun lagi gue udah balik ke Indonesia. Jadi selama itu, lo harus pergunakan waktu lo dengan baik. Dan jangan berubah ya, Kalu?”

Kalu mengernyit. “Gue malu buat bilang ini tapi… temen gue itu cuma lo, Kalu. Gue udah ga punya siapa-siapa lagi sekarang yang bisa gue jadiin tempat buat bersandar. Semuanya pergi, ga ada yang tersisa,” sambung Clara.

Tanpa menjawab, Kalu langsung memeluk Clara. Clara yang sejak tadi sudah menahan air matanya, langsung menumpahkan semuanya saat Kalu memeluknya. Rasanya, segala beban yang ia pendam sebelum berangkat menuju Paris, hilang seketika. Setidaknya, Clara berhasil mengucapkan apa yang ia pendam dari dulu.

“Makasih udah selalu baik ke gue, Kalu. Gue beruntung bisa kenal sama lo.” Kalu tersenyum. Ia enggan mengatakan sepatah kata karena saat ini ia hanya ingin mendengarkan Clara.

“Sekali lagi, gue mau minta maaf atas semua perbuatan gue ke lo. Gue tau kalo perbuatan gue sama sekali ga bisa dimaafkan, bahkan kalo lo mau balas atau hukum gue, gue ga akan keberatan, karena setidaknya dengan itu, rasa bersalah gue jadi berkurang.”

“Ga usah mikirin kesalahan lo yang dulu, Clar. Gue kan udah bilang, gue udah maafin lo dari dulu. Jadi jangan terlalu dipikirin ya?”

Clara mengangguk. Kini Clara sudah bersiap untuk masuk ke dalam bandara. Dan sekali lagi, ia mengucapkan salam perpisahan kepada Kalu dan Devano.

Tak lupa, ia menitipkan pesan untuk Devano. “Jagain Kalu ya, Van. Buat dia selalu bahagia juga.”

Devano mengangguk dan membalas, “Tenang aja, tanpa lo suruh juga gue bakal lakuin itu. Lo jaga diri baik-baik ya di sana. Inget, jangan ulang perbuatan lo yang dulu selama ada di sana.”

“Iya, tenang aja, gue udah tobat kok.”

Mereka bertiga sama-sama tertawa. Setelah berpelukan sekali lagi, Clara sekarang benar-benar sudah pergi. Kalu berharap semoga hari-hari Clara selanjutnya akan selalu berjalan dengan lancar dan penuh kebahagiaan. Dan ia akan tetap menunggu, sebagai sahabat, sampai Clara kembali lagi. Dengan versi terbaik dari dirinya.

“Yuk, balik ke mobil,” ajak Devano.

Sebelum benar-benar balik ke mobil mereka, Kalu berkata dengan pelan, sangat pelan, bahkan Devano tidak mendengarnya.

“Sampai jumpa Clara, i’ll miss you…”


“Ngga ada yang ketinggalan kan?” Elin bertanya sekali lagi untuk memastikan apakah ada barang yang tertinggal sebelum ia dan Kalu berangkat menuju tempat pemotretan terakhir. Kalu menggeleng sebagai jawaban.

Selanjutnya, Elin mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mereka sengaja berangkat pukul 07.30 karena perjalanan ke sana menempuh waktu sekitar satu jam. Itu pun kalau tidak macet. Maka dari itu, Kalu yang memang memiliki kebiasaan datang tepat waktu, menyuruh Elin untuk menjemputnya pukul sekian.

“Tumben banget jalanan ga rame. Biasanya jam segini udah mulai macet.” Elin masih sedikit takjub menatap jalanan di ibu kota di hadapannya yang pagi ini cukup sepi. Pasalnya, mau hari libur sekalipun, jalanan akan tetap padat dengan kendaraan. Tapi syukurlah, setidaknya Elin bisa mengendarai mobilnya dengan santai dan lancar sampai tujuan mereka.

Sekarang beralih ke perempuan di sebelah Elin yang kini sedang sibuk mengunyah roti di mulutnya. Kalu dari tadi hanya diam dengan pikirannya yang didominasi oleh rasa panik dan takut. Ia menghela nafas sebelum kembali menggigit roti di tangannya.

“Lo gapapa?” Elin melirik sahabatnya yang seperti orang sakit. Tanpa bertanya pun, ia sudah tahu jawabannya. Sahabatnya ini memang pantas mendapat julukan si kepala batu, karena sikapnya yang keras kepala dan susah dikasih tahu. “Kita balik aja deh. Gue takut lo kenapa-napa nanti.”

Kalu sontak melotot ke arah Elin. Tentunya ia tidak setuju, mereka sudah setengah jalan, masa tiba-tiba harus pulang. “Apaan sih lo?! Gak, pokoknya ga ada pulang-pulang sebelum gue selesai photoshoot,” protes Kalu.

“Yeee, lagian lo, gue ajak ngobrol malah ga jawab. Tuh, muka lo juga pucat banget. Yakin tetep mau lanjutin photoshoot hari ini?”

“Yakin.”

Kalau sudah begini, Elin tidak bisa lagi untuk membantah omongan Kalu. Sekali keras kepala, akan tetap keras kepala. Salah satu watak yang sangat ingin Elin hilangkan dari diri sahabatnya itu. “Yaudah, tapi inget, kalo lo udah ngerasa ga enak badan, langsung kasi tau gue, oke?”

“Oke,” Kalu menjawab sambil mengacungkan kedua jempolnya ke Elin. Ia yakin kalau ia bisa. Karena kalau ia tidak mencoba melawannya sekarang, kapan lagi ia bisa terbebas dari trauma yang menghantuinya?

Kalu memang tidak pernah memberi tahu siapapun tentang trauma yang ia alami, selain ke Elin dan orang tuanya—-yang berada tepat di lokasi kejadian. Kalu saat itu berusia 12 tahun. Usia di mana dirinya masih cukup muda dan baru mulai menginjak masa pubertas. Masa di mana ia sering menghabiskan waktunya untuk liburan bersama keluarganya saat hari libur tiba. Tepat sehari setelah pengambilan rapot kenaikan kelas, Kalu dan orang tuanya menghabiskan waktu mereka dengan berenang di salah satu taman rekreasi air. Saat itu, setelah 2 jam lamanya ia bermain seluruh wahana yang ada di sana, Kalu yang hendak pergi menemui orang tuanya di salah satu gazebo yang mereka sewa, justru jatuh terpeleset ke dalam kolam arus yang memiliki kedalaman 1,75 meter.

Dengan kemampuan berenang yang belum seberapa dan tubuhnya yang pendek mengakibatkan Kalu kehilangan keseimbangan dan susah bernafas. Orang-orang yang ada di sekitar Kalu hanya berteriak histeris—-panik, bahkan kebanyakan dari mereka justru hanya menonton Kalu yang hampir tenggelam.

Di atas kolam, seorang anak laki-laki seusia Kalu, tanpa rasa takut langsung menyeburkan diri ke dalam kolam dan membantu Kalu. Baru setelah anak laki-laki itu masuk ke dalam kolam, para pria dewasa mulai ikut membantunya membawa Kalu ke atas kolam. Pemandangan yang sangat menjengkelkan, bahkan anak laki-laki tersebut hendak protes, namun ia urungkan karena keselamatan anak perempuan di hadapannya jauh lebih penting.

“Ya Tuhan, anakku!” Mama Kalu yang baru mengetahui info dari orang-orang bahwa ada anak perempuan yang tenggelam, seketika terdiam. Dengan instingnya yang kuat, ia segera berlari menuju keramaian yang ada jauh di depannya. Anak perempuan yang sedang dihebohkan di sana ternyata adalah Kalu, putrinya. Ia menangis sejadi-jadinya dan langsung memeluk Kalu. Sesekali ia menekan dada putrinya agar Kalu terbangun.

Tepat 5 menit setelahnya, Kalu akhirnya sadarkan diri dan mengeluarkan air yang mengendap di tubuhnya saat ia tenggelam. Orang-orang di sana akhirnya mengucapkan puji syukur dan beberapa ada yang berdoa mengucapkan terima kasih ke Tuhan. Mama Kalu langsung membawa putrinya ke dalam pelukannya, untuk menghangatkan tubuh Kalu.

“Mama... takut...,” isak Kalu dengan tubuh yang bergetar. Ia bahkan enggan untuk melihat ke dalam kolam renang di sekelilingnya. Dan detik itu juga, rasa takut mulai mendominasi dirinya. Dalam hatinya, Kalu bersumpah tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Para tim medis yang baru datang, langsung menggotong Kalu dan membawanya ke dalam ruangan yang disediakan di sana agar keadaan Kalu segera membaik.

Tanpa orang-orang sadari, anak laki-laki yang tadi menyelamatkan Kalu juga ikut bersama tim medis yang membawa Kalu dan disusul oleh orang tua Kalu. Di dalam sana, Kalu tengah meminum teh hangat yang diberikan dan tubuhnya tengah dibaluri minyak supaya tidak masuk angin. Sedari tadi, yang dilakukan anak laki-laki itu hanya mondar-mandir di depan ruangan Kalu. Sampai akhirnya, seseorang secara tiba-tiba mengejutkannya. “Halo, kamu lagi ngapain di sini?” tanya Mama Kalu.

“Halo tante, saya di sini mau ketemu anak tante, mau lihat kondisinya dia.”

“Kamu kenal anak saya?”

Anak laki-laki itu menggeleng. “Engga tan, tapi tadi saya yang bantu menyelamatkan anak tante.”

Mama Kalu seketika terkejut mendengar penuturan dari anak laki-laki di hadapannya. Ia pikir yang menyelamatkan Kalu adalah orang-orang dewasa yang ada di sana, namun ternyata ia salah. Dengan penuh haru, ia langsung mengizinkan anak laki-laki itu menemui Kalu dan membiarkan keduanya berbicara berdua.

Anak laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung harus berkata apa. Kalu pun sama sepertinya. Menatap laki-laki di depannya dengan raut bingung. “Ada apa?” Kalu akhirnya melemparkan pertanyaan padanya.

“Keadaan kamu gimana?”

“Belum baik,” Kalu menjeda ucapannya sebentar. “Kamu siapa?”

“Kenalin, aku Devano, orang yang menyelamatkan kamu tadi.” Anak laki-laki yang bernama Devano itu langsung mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Kalu.

Sama dengan respon mamanya tadi, Kalu ikut terkejut. Lantas, ia langsung menjabat balik tangan Devano yang dingin. “Makasih banyak ya, udah nolongin aku tadi. Oh iya, namaku Kaluela. Salam kenal.” Kalu berkata dengan tersenyum.

“Kalu istirahat dulu ya, Nak,” ucap mama Kalu yang baru kembali. Keduanya pun langsung melepaskan jabat tangan mereka. Tak lupa, Devano mengucapkan permisi kepada mereka dan segera meninggalkan ruangan agar Kalu bisa beristirahat.

“Yah... mama kenapa ngusir dia? Kalu padahal masih mau ngobrol sama dia.” Mama Kalu hanya terkekeh mendengar ucapan anak semata wayangnya. “Kalau dia masih ada di sini buat ngobrol sama kamu, nanti kamu sembuhnya lama, makanya mama suruh dia pergi supaya Kalu bisa istirahat. Ngobrolnya kan bisa dilanjut nanti.”

“Emang Kalu bakal ketemu dia lagi?”

“Mungkin?”

Ucapan terakhir dari mamanya menjadi doa yang selalu ia ucapkan setiap kali ia sedang berdoa. Walaupun kemungkinan mereka bertemu hampir tidak ada, namun, Kalu tetap percaya kalau suatu saat pasti ia akan bertemu lagi dengan anak laki-laki tadi. Cepat atau lambat.


“WOW BAGUS BANGET?!!” Elin berteriak cukup kencang saat melihat tempat pemotretan Kalu yang sangat indah. Suara teriakannya mampu membuat staff yang sedang menyiapkan kamera dan properti lain, menoleh ke arah mereka. Kalu yang menyadari itu langsung meminta maaf.

“Kalo ngomong tuh, jangan teriak-teriak, nanti orang lain keganggu,” umpat Kalu.

“Hehe sorry.”

Keduanya akhirnya menuju tempat yang sudah disediakan untuk meletakkan barang bawaan mereka. Di sana juga sudah ada Zean dan Mba Vera. Kalu langsung menyapa Zean dan berbincang-bincang sebentar dengannya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat 45 menit, Mba Vera langsung mengarahkan Kalu dan Zean untuk mengganti pakaian mereka di ruangan yang sudah disediakan.

Kalu yang duluan selesai karena pakaian yang ia gunakan tidak ribet. Hanya long dress yang diberikan aksen pita di belakangnya. Ia lantas mengalihkan pandangannya ke tempat di mana ia akan melakukan pemotretan. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kolam renang, namun jika ia mundur ke belakang sebanyak empat langkah, dapat dipastikan detik itu juga dirinya sudah ada di dalam kolam.

Cukup mengejutkan sebenarnya, karena dulu Kalu bersikeras tidak akan pernah datang ke tempat yang berisi kolam renang di dalamnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menghilangkan rasa cemasnya dan mulai mencoba kembali seperti dulu, walaupun kejadian saat ia tenggelam dulu masih terekam jelas di pikirannya.

Lamunannya terbuyar saat suara Elin memanggilnya. “Kalu, lo baik-baik aja kan?”

Kalu mengangguk dan tersenyum. Ia kembali meyakinkan Elin dan dirinya sendiri kalau ia mampu menjalani pemotretan hari ini dengan lancar.

“Gue bakal ada di samping lo, jadi lo ga perlu takut apa-apa ya.”

“Iyaaaa Elin.”

Sesi pertama photoshoot berjalan dengan lancar, begitu juga dengan sesi kedua. Zean langsung memuji Kalu yang terlihat sangat memukau di hasil photoshoot mereka tadi. “Hahaha lo juga keren banget!” puji Kalu.

Kini mereka sedang beristirahat 10 menit sebelum masuk ke sesi pemotretan ketiga sekaligus yang terakhir. Pemotretan hari ini memang tidak lama karena jam sewa beach club ini hanya dua setengah jam, jadi sebisa mungkin mereka harus cepat menyelesaikan photoshoot. Kalu merasa bangga atas dirinya. Rasanya, seluruh bayangan dan skenario buruk yang ada di otaknya tadi pagi, seketika menghilang saat ia berhasil menyelesaikan dua sesi pemotretan dengan lancar. Elin juga tak ada hentinya memberikannya kata-kata penenang yang membuat Kalu semakin rileks menjalani photoshoot.

“Hai, cantik,” sapaan Devano membuat Kalu terkejut. Akhirnya, orang yang dari tadi ia tunggu datang juga.

“Lama banget sampenya,” protes Kalu dengan nada yang pura-pura marah. Bukannya takut, Devano justru tertawa dan menarik kursinya mendekat ke kursi Kalu. “Jalan pulang dari bandara tadi macet, makanya aku lama sampenya.”

Kalu hanya mengangguk mendengar jawaban Devano. “Kamu cantik banget,” puji Devano tanpa mengalihkan pandangannya dari Kalu. Walaupun Kalu sudah sering mendengar pujian Devano yang menyebut dirinya cantik, namun, ia selalu salah tingkah dan wajahnya langsung merah seperti kepiting rebus.

“Kalu, udah waktunya photoshoot.” Kalu langsung bangun dari duduknya dan segera menuju ke tempat tadi untuk melakukan pemotretan sesi terakhir. Tak lupa, Devano juga mengucapkan semangat kepadanya. Ah, rasanya Kalu benar-benar bahagia sekarang. Tapi baru saja berpikir demikian, dirinya langsung diseret Elin menjauh. “ Eh, kenapa?”

“Hati-hati, Clara ada di sini. Lo ngerti maksud gue kan?” Elin berucap dengan sangat pelan sambil terus memperhatikan Clara yang tiba-tiba datang seperti tamu tak diundang. Kalu meneguk ludahnya kasar. Ia berharap sampai photoshoot terakhir nanti, dirinya tetap baik-baik saja.


It's a wrap!!!” teriak semuanya. Akhirnya photoshoot yang mereka lakukan selama seminggu penuh berakhir.Setelah pemotretan berakhir, semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk berfoto-foto untuk mengabadikan momen ini. Ada yang sibuk memesan makanan dan minuman. Ada yang sibuk merapikan kamera dan properti. Dan masih banyak lagi. Devano langsung menghampiri Kalu yang sedang mengobrol dengan salah satu staff.

“Cie, udah selesai juga nih photoshootnya,” gurau Devano.

“Hahaha iya, akhirnya aku bisa bangun siang lagi sekarang.” Devano sontak tertawa.

Elin yang saat ini merasa kalau Kalu sudah aman karena ada Devano di sisinya, langsung pamit menuju ruang wardrobe yang perlu ia rapikan. “Gue ke ruang wardrobe dulu ya, lo jangan jauh-jauh dari Vano.”

“Siap,” jawab Kalu dengan satu tangan di samping dahinya seperti orang yang lagi hormat.

Dari arah samping, seseorang menghampiri mereka berdua, dengan sok akrab, Clara menyapa Kalu. “Hai Kalu, selamat ya photoshootnya berjalan lancar.” Jangan lupakan senyuman manis palsu yang terpampang di wajah Clara.

Kalu hanya tersenyum canggung merespon ucapan Clara. Merasa pacarnya tidak nyaman, Devano langsung merangkul pinggang Kalu dengan posesif. Hal itu tentu saja membuat Kalu terkejut. Sebelum Kalu protes untuk minta dilepaskan, Devano sudah berbicara terlebih dahulu. “Sorry Clar, gue sama cewe gue mau makan dulu ya.”

Clara yang sedari tadi sudah menyadari gerak gerik Devano hanya bisa menyunggingkan senyumnya. “Oh oke, tapi tadi Mba Vera mau ngajak Kalu fotoan.”

“Beneran?”

“Iya.”

Tepat setelahnya, Mba Vera datang dan benar saja, ia langsung mengajak Kalu berfoto. Tanpa keraguan sedikitpun Kalu langsung melepaskan rangkulan Devano dan pergi sedikit menjauh untuk berfoto dengan Mba Vera. Posisi Kalu dengan Mba Vera kini benar-benar di pinggir kolam. Ketakutan Kalu tiba-tiba saja kembali muncul. Ia sudah meminta Mba Vera agar sedikit menjauh dari kolam, namun, kata Mba Vera, cahaya di sini bagus untuk fotoan. Mau tidak mau Kalu tetap menurut. Clara juga mulai menghampiri mereka dan duduk di kursi yang berada di sebelah Kalu berdiri.

“Coba Kalu agak ke kanan supaya Mba Vera ngga terlalu silau,” ucap staff yang memotret Kalu dan Mba Vera. Kalu yang sudah takut sejak awal, langsung bergeser ke kanan dengan hati-hati. Ia bahkan sudah tahu celah yang tepat agar dirinya tak jatuh ke dalam kolam. Apabila bergerak selangkah ke belakang, sudah dipastikan ia akan jatuh. Tapi karena saat ini ia hanya bergeser sedikit ke kanan, seharusnya aman-aman saja. Namun naasnya, kakinya tersandung. Kalu seketika kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke dalam kolam. Sontak hal tersebut menjadi perhatian seluruh orang yang ada di sana. Dengan cepat, Devano menyeburkan dirinya ke dalam kolam dan berusaha meraih Kalu.

Saat tahu dirinya jatuh ke dalam kolam, dada Kalu seketika sesak, bahkan untuk menggerakkan kakinya pun ia tidak bisa. Ia deja vu. Pandangan Kalu menggelap. Namun, saat itu Devano berhasil meraih Kalu dan segera membawanya ke tepian. Tanpa menghiraukan orang-orang di sana yang sedang berteriak histeris, Devano segera memberikan nafas buatan untuk Kalu. Berkali-kali ia mencoba membangunkan Kalu sampai akhirnya berhasil. Kalu terbangun dengan raut wajah yang susah diartikan. Tapi satu yang Devano tangkap, Kalu sangat ketakutan.

Tanpa mengulur waktu untuk menunggu ambulans datang, Devano sudah lebih dulu menggendong Kalu dan membawanya ke mobil untuk diantarkan ke rumah sakit.

Semua yang ada di sana langsung berbisik dan membicarakan Kalu. Namun, satu orang di sana justru sama sekali tidak tertarik membahas kejadian menghebohkan tadi. Yang ada dipikirannya saat ini hanya satu, ia berhasil membuat Kalu jatuh ke dalam traumanya.


Jika ditanya mengapa Clara sangat membenci Kalu, jawabannya sangat mudah. Karena Clara benci jika Kalu lebih unggul darinya.

Dahulu, mungkin dirinya dan Kalu adalah seorang sahabat, bahkan tak sedikit teman kuliah mereka yang merasa terkejut saat mengetahui fakta kalau kini mereka berdua adalah rival—terlebih bagi Clara.

Egois dan licik memang, tapi begitulah Clara. Dirinya selalu berambisi untuk menjadi nomor 1 dalam setiap hal, entah hal yang disukai maupun tidak. Makanya, saat ia berhasil menjatuhkan Kalu saat seleksi model di management mereka, Clara merasa dirinya menang karena ia tahu kalau menjadi model adalah mimpi mantan sahabatnya.

Seperti saat ini, lagi dan lagi, rasa iri dan cemburu menguasai diri Clara. Setelah mengetahui fakta bahwa Kalu dan Devano sudah berpacaran, Clara merasa kalau dirinya kalah dari Kalu. Pria yang ia dambakan, justru jatuh ke pelukan musuhnya.

Dengan langkah yang santai, Clara masuk ke studio dan menyapa orang-orang di sana. Banyak yang bertanya mengapa Clara datang padahal dirinya sedang tidak ada jadwal untuk photoshoot tapi Clara menjawab, ia hanya ingin berkunjung. Walaupun nyatanya bukan itu tujuannya.

Sibuk mengelilingi studio, Clara kebingungan karena orang yang ia cari justru tidak menampakkan dirinya di sana. Hingga ia pun bertanya pada salah satu staff karena rasa penasarannya yang sudah tidak bisa ditahan lagi. “Kak, Kalu lagi dimana ya? Kok dari tadi aku ngga lihat dia?”

“Kalu lagi istirahat di ruang tidur, kayaknya lagi sakit soalnya mukanya pucat.”

Usai mendengar jawaban sang staff, Clara langsung bergegas ke ruangan yang dimaksud. Dengan pelan, ia membuka pintu, dan menemukan Kalu yang sedang tertidur pulas. Dengan lancar, otak liciknya langsung menyusun rencana yang ia pastikan akan membuat keributan nantinya.

Clara kembali menutup pintu dan mulai mencari sosok Zean, yang akan ia jadikan kambing hitamnya. Dengan mudah ia menemukan Zean. Pria itu kini sedang duduk disalah satu kursi di dalam ruang ganti.

Zean yang sedikit terganggu dengan kehadiran Clara, langsung berdiri dan hendak keluar. Namun, Clara berhasil menahannya. “Eh, mau kemana?”

“Mau keluar”

“Tunggu dulu dong. Gue mau minta tolong sama lo, boleh?,” pinta Clara dengan wajah memelas yang ia buat-buat.

“Apa?”

Sebelum menjawab, Clara menuju salah satu laci yang terletak di pojok ruangan. Ia mengambil selimut yang memang sering disimpan untuk para model yang merasa kedinginan. Clara langsung menyerahkan selimut itu kepada Zean, sedangkan Zean dibuat kebingungan oleh Clara. “Ngapain lo kasi gua selimut?”

Clara tertawa pelan. “Bukan buat lo, tapi buat Kalu. Dia kayaknya lagi sakit, lo bisa bawain ini buat dia kan? Gue soalnya mau ketemu Mba Vera, jadi ga bisa bawain selimutnya ke dia.”

Zean tak langsung menyetujui perintah Clara. Satu sisi, ia mau-mau saja membawakan selimut ini untuk Kalu. Namun, di sisi lain, ia sedikit curiga dengan Clara, pasalnya Mba Vera baru saja ia lihat pergi keluar, jadi tak menutup kemungkinan bukan kalau Clara sedang berbohong?

“Heh! Kok malah bengong? Bawain gih, kasian dia kedinginan,” protes Clara karena dirinya yang sudah tidak sabar.

Mengabaikan semua rasa penasarannya, Zean akhirnya memilih untuk membawakan selimut yang di tangannya untuk Kalu. Toh, ia hanya akan mengantarkan selimut.

Baru satu langkah, Clara kembali menahan Zean. “Oh iya satu lagi, coba lo cek suhu badannya ya, panas atau engga, biar bisa gue beliin obat.”

Kini Zean justru semakin dibuat kebingungan dengan Clara. Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan perintahnya Clara, tapi entah kenapa menurut Zean, ada sedikit kejanggalan.

Setelah masuk ke ruangan Kalu, Zean dapat melihat Kalu yang tertidur dengan pulas. Dengan hati-hati, ia meletakkan selimut di atas badan Kalu. Selanjutnya, ia duduk di salah satu kursi—ingin melihat wajah tenang Kalu yang sedang tertidur.

Puas menatapi wajah Kalu, Zean tersadar kalau banyak keringat di dahi Kalu. Lantas, ia meletakkan tangannya di dahi Kalu, untuk memastikan apakah suhu tubuh Kalu panas atau tidak. Merasa ada tangan yang menyentuh dahinya, Kalu langsung terbangun. Ia terkejut saat melihat Zean ada di sini. Bahkan tangan yang awalnya berada di dahi Kalu, kini sudah berada di pipinya untuk menangkup pipi gadis itu.

Dan tanpa melewatkan kesempatan emas, Clara mengabadikan momen tersebut dengan tujuan menjadikannya bahan untuk menjatuhkan Kalu.


Jika ditanya mengapa Clara sangat membenci Kalu, jawabannya sangat mudah. Karena Clara benci jika Kalu lebih unggul darinya.

Dahulu, mungkin dirinya dan Kalu adalah seorang sahabat, bahkan tak sedikit teman kuliah mereka yang merasa terkejut saat mengetahui fakta kalau kini mereka berdua adalah rival—terlebih bagi Clara.

Egois dan licik memang, tapi begitulah Clara. Dirinya selalu berambisi untuk menjadi nomor 1 dalam setiap hal, entah hal yang disukai maupun tidak. Makanya, saat ia berhasil menjatuhkan Kalu saat seleksi model di management mereka, Clara merasa dirinya menang karena ia tahu kalau menjadi model adalah mimpi mantan sahabatnya.

Seperti saat ini, lagi dan lagi, rasa iri dan cemburu menguasai diri Clara. Setelah mengetahui fakta bahwa Kalu dan Devano sudah berpacaran, Clara merasa kalau dirinya kalah dari Kalu. Pria yang ia dambakan, justru jatuh ke pelukan musuhnya.

Dengan langkah yang santai, Clara masuk ke studio dan menyapa orang-orang di sana. Banyak yang bertanya mengapa Clara datang padahal dirinya sedang tidak ada jadwal untuk photoshoot tapi Clara menjawab, ia hanya ingin berkunjung. Walaupun nyatanya bukan itu tujuannya.

Sibuk mengelilingi studio, Clara kebingungan karena orang yang ia cari justru tidak menampakkan dirinya di sana. Hingga ia pun bertanya pada salah satu staff karena rasa penasarannya yang sudah tidak bisa ditahan lagi. “Kak, Kalu lagi dimana ya? Kok dari tadi aku ngga lihat dia?”

“Kalu lagi istirahat di ruang tidur, kayaknya lagi sakit soalnya mukanya pucat.”

Usai mendengar jawaban sang staff, Clara langsung bergegas ke ruangan yang dimaksud. Dengan pelan, ia membuka pintu, dan menemukan Kalu yang sedang tertidur pulas. Dengan lancar, otak liciknya langsung menyusun rencana yang ia pastikan akan membuat keributan nantinya.

Clara kembali menutup pintu dan mulai mencari sosok Zean, yang akan ia jadikan kambing hitamnya. Dengan mudah ia menemukan Zean. Pria itu kini sedang duduk disalah satu kursi di dalam ruang ganti.

Zean yang sedikit terganggu dengan kehadiran Clara, langsung berdiri dan hendak keluar. Namun, Clara berhasil menahannya. “Eh, mau kemana?”

“Mau keluar”

“Tunggu dulu dong. Gue mau minta tolong sama lo, boleh?,” pinta Clara dengan wajah memelas yang ia buat-buat.

“Apa?”

Sebelum menjawab, Clara menuju salah satu laci yang terletak di pojok ruangan. Ia mengambil selimut yang memang sering disimpan untuk para model yang merasa kedinginan. Clara langsung menyerahkan selimut itu kepada Zean, sedangkan Zean dibuat kebingungan oleh Clara. “Ngapain lo kasi gua selimut?”

Clara tertawa pelan. “Bukan buat lo, tapi buat Kalu. Dia kayaknya lagi sakit, lo bisa bawain ini buat dia kan? Gue soalnya mau ketemu Mba Vera, jadi ga bisa bawain selimutnya ke dia.”

Zean tak langsung menyetujui perintah Clara. Satu sisi, ia mau-mau saja membawakan selimut ini untuk Kalu. Namun, di sisi lain, ia sedikit curiga dengan Clara, pasalnya Mba Vera baru saja ia lihat pergi keluar, jadi tak menutup kemungkinan bukan kalau Clara sedang berbohong?

“Heh! Kok malah bengong? Bawain gih, kasian dia kedinginan,” protes Clara karena dirinya yang sudah tidak sabar.

Mengabaikan semua rasa penasarannya, Zean akhirnya memilih untuk membawakan selimut yang di tangannya untuk Kalu. Toh, ia hanya akan mengantarkan selimut.

Baru satu langkah, Clara kembali menahan Zean. “Oh iya satu lagi, coba lo cek suhu badannya ya, panas atau engga, biar bisa gue beliin obat.”

Kini Zean justru semakin dibuat kebingungan dengan Clara. Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan perintahnya Clara, tapi entah kenapa menurut Zean, ada sedikit kejanggalan.

Setelah masuk ke ruangan Kalu, Zean dapat melihat Kalu yang tertidur dengan pulas. Dengan hati-hati, ia meletakkan selimut di atas badan Kalu. Selanjutnya, ia duduk di salah satu kursi—ingin melihat wajah tenang Kalu yang sedang tertidur.

Puas menatapi wajah Kalu, Zean tersadar kalau banyak keringat di dahi Kalu. Lantas, ia meletakkan tangannya di dahi Kalu, untuk memastikan apakah suhu tubuh Kalu panas atau tidak. Merasa ada tangan yang menyentuh dahinya, Kalu langsung terbangun. Ia terkejut saat melihat Zean ada di sini. Bahkan tangan yang awalnya berada di dahi Kalu, kini sudah berada untuk menangkup pipi gadis itu.

Dan tanpa melewatkan kesempatan emas, Clara mengabadikan momen tersebut dengan tujuan menjadikannya bahan untuk menjatuhkan Kalu.


3 Juni 2022. Malam ini adalah malam yang sudah dinanti-nanti oleh gadis yang saat ini menggunakan kaos putih serta celana jeans yang dipadukan dengan sepatu berwarna abu-abu. Malam di mana sang idola akan tampil di hadapan dirinya. Lia tak henti menatap panggung besar di depan sana dan mulai membayangkan bagaimana serunya saat ia dan seluruh orang yang ikut menonton konser ini, ikut bernyanyi sambil diiringi suara indah nan merdunya Tulus.

Saat memasuki area konser, pandangan Lia langsung terfokus kepada orang-orang yang menonton konser ini. Ternyata dugaannya benar, kalau kebanyakan penonton konser ini adalah para remaja seusianya. Namun, tak sedikit juga para orang dewasa yang ikut menyaksikan konser ini sambil menggandeng pasangannya. Lia sedikit iri dengan hal itu.

“Woy! Lia, hp lo bunyi terus nih,” ucap Nadia sedikit berteriak karena Lia tidak menyadari kalau ada orang yang tengah menelfonnya. Saat ia melihat nama orang yang tengah menelfonnya, ia segera menekan tombol hijau di ponselnya.

“Halo, Saga?”

“Lo dimana? Kok gua ga ada ngeliat lo?”

“Sebentar.” Dengan ponsel yang masih menempel di telinganya, Lia mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar. Berharap ia segera melihat Saga.

Bagai menemukan mata air di tengah gurun pasir, Lia segera melambaikan tangannya saat ia melihat Saga berdiri tak jauh dari tempatnya berada. “Sagaa, coba liat ke belakang, gue udah lambaiin tangan, nih!”

Senyum Saga langsung mengembang saat ia berhasil menemukan gadis yang dicarinya sejak tadi. Lantas dimatikannya sambungan teleponnya dengan Lia dan segera berlari menghampirinya.

“Udah dari tadi?,” tanya Saga saat dirinya berada di hadapan Lia.

“Belum kok. Oh iya, kenalin ini Nadia, temen SMP gue”

Nadia yang baru pertama kali bertemu dengan Saga, hanya tersenyum kikuk sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Saga langsung menyambut hangat uluran tangan dari Nadia sambil memperkenalkan dirinya.

Dilihatnya area depan panggung yang mulai ramai, membuat Lia sedikit panik, takut jika ia tidak mendapat tempat di depan untuk melihat Tulus. Mengerti dengan situasi saat ini, Saga langsung mengajak Lia untuk segera ke depan panggung. “Kok masih diem di sini? Ga mau ke depan supaya dapet tempat?”

“MAU! AYO KE SANA SEKARANG!”

Saga hanya terkekeh saat mendengar teriakan histeris dari Lia. Ia membiarkan perempuan itu dan temannya berjalan terlebih dahulu ke depan panggung.

Tepat saat mereka sudah mendapatkan posisi yang bagus untuk menonton, suara heboh dari para MC mulai terdengar. Para penonton yang hadir pun tak kalah hebohnya. Mereka ikut berteriak untuk menyambut konser yang sudah dimulai. Namun, teriakan dari ratusan manusia di sekitarnya kalah dengan teriakan dari gadis di depannya.

Saga tersenyum. Ia bahkan dapat merasakan aura bahagia yang dipancarkan oleh Lia. Gadis yang semula rambutnya dibiarkan terurai, kini diikat ponytail karena sudah merasa kepanasan akibat desakan dari orang-orang di sampingnya.

Saat hendak mengambil ponsel dari dalam tasnya, Lia tak sengaja terdorong oleh laki-laki berbadan besar di sebelahnya. Refleks hal itu membuat Lia hampir terjatuh jika Saga tak langsung menahan tubuhnya. “Makasih, Saga.”

“Lo gapapa?,” Saga bertanya untuk memastikan keadaan Lia.

“Iya, gapapa kok.”

Walaupun berkata bahwa dirinya baik-baik saja, Saga tetap tak percaya. Ia kini mengubah posisinya supaya berada tepat di belakang Lia. Ia bahkan mulai menegapkan tubuhnya agar Lia tak terkena desakan dari orang-orang di sampingnya. Saga hanya ingin Lia merasa nyaman saat menonton idolanya.

Tak lama, orang yang sudah diharapkan muncul sejak tadi pun kini sudah berada di atas panggung. Sorakan mulai terdengar semakin keras saat lagu pertama mulai dinyanyikan.

Tanpa menunggu lagi, Lia langsung mengabadikan momen tersebut lewat ponselnya. Ia juga ikut bernyanyi dengan kencang saat lagu bertajuk Sepatu itu mulai dinyanyikan.


30 menit berlalu, kini para penonton tengah dihibur oleh para MC karena sang artis tengah bersiap-siap untuk penampilan berikutnya. Lia yang kelelahan berdiri, langsung mengajak Nadia untuk mencari tempat duduk sambil menunggu Tulus kembali tampil. Melihat Lia yang tiba-tiba menghadap ke arahnya, Saga langsung bertanya, “Mau ke mana?”

“Mau cari tempat duduk, gue capek berdiri.”

Lia dan Nadia pun segera menjauhi area panggung dan duduk di bangku yang telah disediakan di belakang sana. Saga juga langsung mengikuti mereka berdua, takut kalau kehilangan jejak mereka, terutama Lia.

Baru 10 menit mereka duduk, Tulus sudah siap bernyanyi kembali. Namun, karena terlalu lelah berdiri dan berdesak-desakan, Lia memilih untuk mengundur waktunya kembali ke depan. Saga yang melihatnya pun hanya ikutan saja.

“Lia, gue ke toilet dulu ya, sumpah, gue udah ga tahan pengen pipis.”

Mendengar ucapan Nadia, Lia sontak bangun dari duduknya dan hendak mengantarkan Nadia ke toilet. Namun, dengan cepat Nadia menahannya, “Gue bisa ke toilet sendiri kok, jugaan tempatnya ada di sana. Lo di sini aja nunggu bareng Saga”

“Beneran ga mau ditemenin?”

“Beneran,” tanpa menunggu lagi, Nadia langsung berlari menuju toilet.

Lia hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku temannya itu. Setelah Nadia pergi, keadaan di antara Saga dan Lia pun mendadak canggung. Lia bahkan baru menyadari kalau tangannya digenggam oleh Saga, entah sejak kapan.

“Ikut gue yuk,” ucap Saga sambil menggenggam tangan Lia ke tengah penonton yang tak terlalu jauh dari tempat duduk mereka.

Alunan musik serta suara indah dari Tulus, membuat kedua remaja tersebut hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Lia yang sejak awal sudah gugup karena genggaman dari Saga, kini semakin gugup saat Saga mengubah posisi tangannya ke bahu Lia. Saga merangkulnya.

Saga juga merasakan hal yang sama seperti Lia, tetapi ia jauh lebih pandai dalam mengontrol dirinya.

Aku ingin dirimu Yang menjadi milikku Bersamaku mulai hari ini Hilang ruang untuk cinta yang lain

“Lia”

“Iya?”

“Denger ga tadi gua ikutan nyanyi pas di lirik itu?,” Saga bertanya kepada Lia yang saat ini mengubah posisi tubunya menjadi tegak sambil menatap Saga.

“Denger, kenapa?”

What do you mean?

“Gue ga paham, Saga…”

Lia menunduk. Ia sekarang tak memiliki nyali untuk menatap Saga. Jujur, Lia sebenarnya tak sebodoh itu untuk menangkap sinyal dari Saga. Ia juga tahu kalau saat ini Saga tengah menyatakan perasaannya ke Lia lewat lirik tersebut. “Gue suka sama lo, Lia. I love you…

Pandangan Lia seakan dipaksa untuk menatap Saga saat ini. Ia bingung harus apa sekarang. Di satu sisi ia senang karena akhirnya mengetahui perasaan Saga, namun, di sisi lain ia bingung harus menjawab apa. Walaupun dari lubuk hatinya, Lia sendiri sudah mengaku kalah, ia juga sudah jatuh. Ia sudah menjatuhkan hatinya kepada lelaki di sampingnya, bahkan sudah sejak lama ia menyukai Saga.

Hey, are you okay?

Lia mengangguk menjawab pertanyaan Saga.

“Maaf kalau tiba-tiba gua bilang ini ke lo, tapi kalau emang ini bikin lo ga nyaman, lupain aja ya?,” sambung Saga.

Lia langsung menggeleng tidak setuju dengan ucapan Saga. “Gue gapapa, gue… cuma bingung harus jawab apa…”

“Ga usah dijawab juga gapapa, yang penting gua udah berhasil buat ungkapin perasaan gua ke lo sekarang”

“Saga…”

“Iya?,” tatapan Saga tak sedikitpun terlepas dari gadis di hadapannya. Sejujurnya ia panik, namun sebisa mungkin ia tutupi agar Lia tetap merasa nyaman dengannya.

I love you too

Saga langsung membelalakkan matanya, ia terkejut sekaligus senang karena perasaannya terbalaskan. Bahkan tanpa sadar, ia sudah memeluk tubuh Lia dengan erat. Lia hanya tertawa saat mendapat pelukan dari Saga.

Thank you, Saga, makasih udah buat hari ini semakin indah.”

Tulus yang semula menjadi fokus utama Lia, kini tergeser, karena lelaki di sampingnya jauh lebih menarik perhatiannya. Ralat, maksudnya kekasihnya.


Jika semalam langit dipenuhi dengan awan gelap, berbeda dengan pagi ini. Langit di atas sana nampak tidak malu memperlihatkan warna birunya yang sangat indah. Tidak lupa dengan matahari yang berada tepat di atas sana.

Sinar cerah yang dipancarkan matahari, sepertinya berefek pada semangat gadis yang saat ini tengah menatap pantulan dirinya dicermin. Gadis dengan pakaian jumpsuit tersebut tak ada hentinya menyisir rambut dan melepas pasang jepitan rambut di poninya.

Merasa lelah, akhirnya Sienna memutuskan untuk membiarkan rambutnya dicatok lurus tanpa tambahan aksesoris apapun. Sebelum pergi, ia memastikan kembali penampilannya dicermin dan bermonolog, “Baju gue ga aneh kan, ya?”

“Udahlah, capek gue, mending gue otw sekarang daripada sibuk ngurusin baju yang gue pake. Oke let’s goooo!!!”

Seusai mengatakan hal tersebut pada dirinya sendiri, Sienna langsung turun ke ruang makan untuk mengambil roti sebagai sarapannya. Rumah mewah dengan 3 lantai itu tampak sepi. Hanya ada Sienna dan Bi Emi—pembantunya, disana. Sambil mengunyah rotinya, Sienna melihat kanan dan kirinya. Dilanjutkan dengan senyum miris yang perlahan terlihat di wajah cantiknya, entah karena apa.

“Bi Emi, aku pergi dulu ya!” Setelah menyelesaikan sarapannya, Sienna sedikit berteriak untuk berpamitan dengan pembantu kesayangannya. Baginya, Bi Emi sudah seperti ibunya. Maka dari itulah, ia sangat menghormati wanita tua yang saat ini tengah sibuk menjemur pakaian majikannya.

Di perjalanan menuju rumah sang kakak sepupu, alias Devano, Sienna tak bisa berhenti untuk tersenyum. Ia membayangkan bagaimana serunya ia, Devano, dan juga Keyna, yang nanti akan menghabiskan banyak waktu untuk jalan-jalan dan berbelanja di mall.

Wanita paruh baya yang sedang mengambil paket di depan rumahnya adalah hal yang pertama kali Sienna lihat saat ia sampai di rumah Devano. Sienna ikut tersenyum dan menyapa si bapak tukang paket, lalu menghampiri bunda Devano.

Tasya—bunda Devano, sedikit terkejut saat melihat kehadiran keponakannya di rumahnya. “Halo tante, apa kabar? Udah lama, ya, Sienna ga main kesini.” Sapa Sienna ramah. Tak lupa dengan senyum manisnya.

“Halo sayang, iya, nih. Sienna kok tumben kesini? Mau cari siapa, sayang?”

Sebelum menjawab, Sienna sudah diajak terlebih dahulu untuk masuk ke ruang tamu rumah Devano oleh Tasya. Ruang tamu yang akan selalu memberikan kehangatan bagi Sienna. Ditambah banyaknya foto-foto masa kecil sepupunya, membuat suasana disana menjadi lebih hangat.

Setelah memastikan Tasya sudah ikut duduk di sebelahnya, Sienna baru menjawab ucapan Tasya di depan rumah tadi. “Nyari Kak Devano sama Keyna, tante. Mereka ada?”

Tasya menekuk wajahnya saat ditanya seperti itu oleh Sienna. “Loh, Devano sama Keyna lagi pergi, sayang. Kamu sebelumnya udah ada janji sama mereka?”

Sienna terkejut. Ia melihat ke sembarang arah guna mengurangi rasa terkejutnya. “Oh, lagi pergi ya, tan? Sienna sebelum kesini emang ga bilang ke Kak Devano dulu sih, jadi ga tau kalo dia lagi pergi hehe.”

Sienna merutuki dirinya sendiri yang saat ini terlihat bodoh di depan bundanya Devano. Salahnya sendiri yang dengan percaya diri mengajak Devano dan Keyna untuk pergi tanpa membuat janji terlebih dahulu dengan mereka. Sekarang hanya ada penyesalan dan kebingungan di benak Sienna.

“Kalo gitu Sienna pulang ya, tante. Maaf udah ganggu siang-siang gini. Nanti tolong titipin salam aku ke Kak Vano sama Keyna, ya, kalo mereka udah pulang.” Sienna langsung berpamitan dan berjalan cepat ke luar rumah Devano tanpa mendengar ucapan dari bundanya Devano.

Setelah dirinya berada di dalam mobil, Sienna berulang kali menormalkan nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia menatap jalanan di depannya dan memilih untuk segera pergi dari komplek perumahan Devano, tanpa tahu tujuannya kemana.

Ditinggal, dilupakan, dibully adalah makanan sehari-hari Sienna. Dan makan siangnya hari ini sepertinya akan dilewatkan karena sudah merasa kenyang atas kejadian tadi.

Hampir satu jam ia habiskan hanya dengan mengelilingi jalanan, akhirnya ia putuskan untuk berhenti di coffee shop yang sepertinya lagi banyak dibicarakan dikalangan remaja. Saat ia masuk, ia terdiam di pintu kafe karena ternyata keadaan di dalam sana cukup ramai. Hal itu membuat Sienna sedikit takut untuk melangkah lebih jauh ke dalam kafe. Namun, segera ia beranikan dirinya untuk ikut duduk di tengah keramaian orang-orang yang sepertinya seumuran dengannya.

Ia kemudian memesan segelas vanilla latte dan satu porsi fish and chips. Sambil menunggu pesanannya tiba, Sienna mengalihkan pandangannya ke layar ponsel dan mulai memasang airpods dikedua telinganya. Suasana ramai kafe tak lagi menarik seluruh atensinya, karena foto kecil laki-laki yang saat ini terpampang diponselnya, jauh terlihat lebih menarik baginya.

Foto tersebut adalah foto balita seorang laki-laki yang saat ini sangat berjasa untuknya. Laki-laki yang sejak kecil sudah membuat Sienna kagum. Serta laki-laki yang akan selalu Sienna kagumi seumur hidupnya.

Devano. Nama laki-laki kecil itu. Difoto itu terlihat Devano yang tersenyum menghadap kamera dengan rambutnya yang terlihat panjang. Sienna lagi-lagi tersenyum melihat foto masa kecil Devano.

Ia sendiri tahu betul kalau dirinya sudah dari lama memiliki perasaan terhadap kakak sepupunya itu, jauh sebelum Devano menjadi seorang psikolog, gitaris, dan model. Sienna juga sadar kalau perasaan yang ia miliki sejak SMP itu sangat salah. Karena sampai kapanpun Devano tidak akan pernah melihat dirinya sebagai seorang perempuan, melainkan hanya sebagai adik sepupu dan pasiennya. Di samping itu, ia sadar akan pekerjaan Devano yang amat sangat tidak memungkinkan bagi Devano memiliki perasaan yang sama dengan Sienna. Apalagi ia tahu, kalau kakak sepupunya itu akan selalu professional terhadap pekerjaannya.

Sienna menghembuskan nafasnya dan memejamkan matanya sebentar. Saat membuka mata, ia melihat pelayan yang sedang membawa minuman dan makanannya.

Setelah menerima semua pesanannya, Sienna memutuskan untuk langsung menyantapnya dan melupakan rencananya hari ini. Mungkin memang belum waktunya. Atau mungkin quality time yang ia impikan akan terwujud bersama Devano dan Keyna, hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.


Jika semalam langit dipenuhi dengan awan gelap, berbeda dengan pagi ini. Langit di atas sana nampak tidak malu memperlihatkan warna birunya yang sangat indah. Tidak lupa dengan matahari yang berada tepat di atas sana.

Sinar cerah yang dipancarkan matahari, sepertinya berefek pada semangat gadis yang saat ini tengah menatap pantulan dirinya dicermin. Gadis dengan pakaian jumpsuit tersebut tak ada hentinya menyisir rambut dan melepas pasang jepitan rambut di poninya.

Merasa lelah, akhirnya Sienna memutuskan untuk membiarkan rambutnya dicatok lurus tanpa tambahan aksesoris apapun. Sebelum pergi, ia memastikan kembali penampilannya dicermin dan bermonolog, “Baju gue ga aneh kan, ya?”

“Udahlah, capek gue, mending gue otw sekarang daripada sibuk ngurusin baju yang gue pake. Oke let’s goooo!!!”

Seusai mengatakan hal tersebut pada dirinya sendiri, Sienna langsung turun ke ruang makan untuk mengambil roti sebagai sarapannya. Rumah mewah dengan 3 lantai itu tampak sepi. Hanya ada Sienna dan Bi Emi—pembantunya, disana. Sambil mengunyah rotinya, Sienna melihat kanan dan kirinya. Dilanjutkan dengan senyum miris yang perlahan terlihat di wajah cantiknya, entah karena apa.

“Bi Emi! Aku pergi dulu ya.” Setelah menyelesaikan sarapannya, Sienna sedikit berteriak untuk berpamitan dengan pembantu kesayangannya. Baginya, Bi Emi sudah seperti ibunya. Maka dari itulah, ia sangat menghormati wanita tua yang saat ini tengah sibuk menjemur pakaian majikannya.

Di perjalanan menuju rumah sang kakak sepupu, alias Devano, Sienna tak bisa berhenti untuk tersenyum. Ia membayangkan bagaimana serunya ia, Devano, dan juga Keyna, yang nanti akan menghabiskan banyak waktu untuk jalan-jalan dan berbelanja di mall.

Wanita paruh baya yang sedang mengambil paket di depan rumahnya adalah hal yang pertama kali Sienna lihat saat ia sampai di rumah Devano. Sienna ikut tersenyum dan menyapa si bapak tukang paket, lalu menghampiri bunda Devano.

Tasya—bunda Devano, sedikit terkejut saat melihat kehadiran keponakannya di rumahnya. “Halo tante, apa kabar? Udah lama, ya, Sienna ga main kesini.” Sapa Sienna ramah. Tak lupa dengan senyum manisnya.

“Halo sayang, iya, nih. Sienna kok tumben kesini? Mau cari siapa, sayang?”

Sebelum menjawab, Sienna sudah diajak terlebih dahulu untuk masuk ke ruang tamu rumah Devano oleh Tasya. Ruang tamu yang akan selalu memberikan kehangatan bagi Sienna. Ditambah banyaknya foto-foto masa kecil sepupunya, membuat suasana disana menjadi lebih hangat.

Setelah memastikan Tasya sudah ikut duduk di sebelahnya, Sienna baru menjawab ucapan Tasya di depan rumah tadi. “Nyari Kak Devano sama Keyna, tante. Mereka ada?”

Tasya menekuk wajahnya saat ditanya seperti itu oleh Sienna. “Loh, Devano sama Keyna lagi pergi, sayang. Kamu sebelumnya udah ada janji sama mereka?”

Sienna terkejut. Ia melihat ke sembarang arah guna mengurangi rasa terkejutnya. “Oh, lagi pergi ya, tan? Sienna sebelum kesini emang ga bilang ke Kak Devano dulu sih, jadi ga tau kalo dia lagi pergi hehe.”

Sienna merutuki dirinya sendiri yang saat ini terlihat bodoh di depan bundanya Devano. Salahnya sendiri yang dengan percaya diri mengajak Devano dan Keyna untuk pergi tanpa membuat janji terlebih dahulu dengan mereka. Sekarang hanya ada penyesalan dan kebingungan di benak Sienna.

“Kalo gitu Sienna pulang ya, tante. Maaf udah ganggu siang-siang gini. Nanti tolong titipin salam aku ke Kak Vano sama Keyna, ya, kalo mereka udah pulang.” Sienna langsung berpamitan dan berjalan cepat ke luar rumah Devano tanpa mendengar ucapan dari bundanya Devano.

Setelah dirinya berada di dalam mobil, Sienna berulang kali menormalkan nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia menatap jalanan di depannya dan memilih untuk segera pergi dari komplek perumahan Devano, tanpa tahu tujuannya kemana.

Ditinggal, dilupakan, dibully adalah makanan sehari-hari Sienna. Dan makan siangnya hari ini sepertinya akan dilewatkan karena sudah merasa kenyang atas kejadian tadi.

Hampir satu jam ia habiskan hanya dengan mengelilingi jalanan, akhirnya ia putuskan untuk berhenti di coffee shop yang sepertinya lagi banyak dibicarakan dikalangan remaja. Saat ia masuk, ia terdiam di pintu kafe karena ternyata keadaan di dalam sana cukup ramai. Hal itu membuat Sienna sedikit takut untuk melangkah lebih jauh ke dalam kafe. Namun, segera ia beranikan dirinya untuk ikut duduk di tengah keramaian orang-orang yang sepertinya seumuran dengannya.

Ia kemudian memesan segelas vanilla latte dan satu porsi fish and chips. Sambil menunggu pesanannya tiba, Sienna mengalihkan pandangannya ke layar ponsel dan mulai memasang airpods dikedua telinganya. Suasana ramai kafe tak lagi menarik seluruh atensinya, karena foto kecil laki-laki yang saat ini terpampang diponselnya, jauh terlihat lebih menarik baginya.

Foto tersebut adalah foto balita seorang laki-laki yang saat ini sangat berjasa untuknya. Laki-laki yang sejak kecil sudah membuat Sienna kagum. Serta laki-laki yang akan selalu Sienna kagumi seumur hidupnya.

Devano. Nama laki-laki kecil itu. Difoto itu terlihat Devano yang tersenyum menghadap kamera dengan rambutnya yang terlihat panjang. Sienna lagi-lagi tersenyum melihat foto masa kecil Devano.

Ia sendiri tahu betul kalau dirinya sudah dari lama memiliki perasaan terhadap kakak sepupunya itu, jauh sebelum Devano menjadi seorang psikolog, gitaris, dan model. Sienna juga sadar kalau perasaan yang ia miliki sejak SMP itu sangat salah. Karena sampai kapanpun Devano tidak akan pernah melihat dirinya sebagai seorang perempuan, melainkan hanya sebagai adik sepupu dan pasiennya. Di samping itu, ia sadar akan pekerjaan Devano yang amat sangat tidak memungkinkan bagi Devano memiliki perasaan yang sama dengan Sienna. Apalagi ia tahu, kalau kakak sepupunya itu akan selalu professional terhadap pekerjaannya.

Sienna menghembuskan nafasnya dan memejamkan matanya sebentar. Saat membuka mata, ia melihat pelayan yang sedang membawa minuman dan makanannya.

Setelah menerima semua pesanannya, Sienna memutuskan untuk langsung menyantapnya dan melupakan rencananya hari ini. Mungkin memang belum waktunya. Atau mungkin quality time yang ia impikan akan terwujud bersama Devano dan Keyna, hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.


Setelah memastikan kalau Devano benar-benar ada di depan rumahnya melalui jendela kamarnya, Kalu akhirnya memutuskan turun untuk membukakan gerbang.

Dengan tubuh yang masih lemas, Kalu berjalan dengan sangat lambat bahkan Devano harus menunggu sampai 5 menit di depan sana.

Tubuh Devano mulai ia tegakkan dari posisi sebelumnya yang menyender di mobil, saat gadis dengan piyama berwarna biru pastel itu mulai membuka gerbangnya. Wajah Kalu yang terlihat pucat, membuat Devano dengan cepat melepaskan jaket miliknya dan langsung memakaikannya di tubuh mungil Kalu.

Kalu terkejut saat jaket milik Devano telah menutupi hampir seluruh tubuh bagian atasnya. “Kenapa dipakein ke gue? Gue ga kedinginan kok.”

Devano menghela nafas kala mendengar pertanyaan lugu dari gadis di depannya. “Wajah lo pucat, gue ga mau lo sampe jatuh sakit, apalagi besok kita ada rencana buat jalan-jalan.”

Kalu hanya ber-oh ria untuk menjawab ucapan Devano. Ia lantas menuntun Devano untuk masuk ke dalam rumahnya agar mereka lebih leluasa untuk berbicara.

“Disini aja,” ucap Devano saat mereka sampai di teras rumah Kalu.

“Ga mau di dalem aja? Takut lo kedinginan kalo disini.”

Devano menggeleng pelan. Kalu yang melihatnya hanya terdiam dan memilih untuk duduk di kursi yang ada disana.

Langit malam ini ternyata sangat indah. Malam ini, para bintang benar-benar tidak malu untuk menampakkan dirinya. Fokus Devano langsung ikut teralih ke langit setelah melihat Kalu yang seperti terhipnotis akan pemandangan di atasnya.

Pukul 23.57 tetapi sampai saat ini Devano masih terdiam dan membuat Kalu bingung atas kedatangannya. Merasa jengah, akhirnya Kalu bertanya, “Dep, ini kita cuma mau diem-dieman aja? Kalo gitu mending gue tidur aja deh.”

Kali ini Kalu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Setelah mengatakan itu, ia langsung bangkit dan hendak masuk ke dalam rumahnya—meninggalkan Devano sendirian di luar sana. Namun, dengan cekatan, Devano sudah berada di depan pintu terlebih dahulu untuk menghalangi Kalu.

“Ngapain sih? Capek tau ga diem-dieman terus. Sekarang lo mau ngapain lagi?”

“Peluk, ya?”

“Hah?”

Tanpa menunggu lebih lama, Devano membawa tubuh ramping Kalu ke dalam dekapannya. Ia menyalurkan kehangatan untuk tubuh Kalu yang secara tiba-tiba terasa dingin.

Kalu yang dipeluknya hanya bisa diam tanpa ikut memeluk Devano. Jujur saja, dari pada seluruh nasehat yang ia dengar dari mulut Devano, Elin, dan mamanya, ia saat ini lebih membutuhkan pelukan dibandingkan seluruh nasehat tersebut.

Devano mulai mengusap rambut Kalu yang terlihat cukup berantakan dan mengusap punggungnya. Keduanya sama-sama nyaman dengan posisi mereka saat ini, sampai tidak menyadari kalau mereka sudah berpelukan selama 15 menit.

“Lulu,” sahut Devano dengan posisi mereka yang masih sama seperti sebelumnya.

Kalu memalingkan wajahnya ke sebelah kanan, dengan maksud supaya bisa melihat wajah lawan bicaranya. “Iya?”

Sebelum melanjutkan omongannya, Devano sekali lagi mengusap rambut Kalu dan balik menatapnya. Mata yang selalu memancarkan kebahagiaan itu, kini lenyap, digantikan dengan sorot sedih dan ketakutan. Tatapan teduh dari Devano mampu membuat jantung Kalu berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dan lagi, Devano berhasil membuat Kalu jatuh cinta yang ke sekian kali kepadanya. Ucapan sederhana yang terucap dari bibirnya dan ucapan yang membuat Kalu semakin memantapkan hatinya untuk laki-laki yang saat ini masih memeluknya.

“Lu, tolong tetap bertahan, ya? Setidaknya buat mama lo, buat warna biru kesukaan lo, buat bias lo, dan pastinya buat gue. Tolong jangan buat gue harus ngerasain gimana rasanya khawatir yang berlebihan lagi setelah denger kabar kalo lo hampir bikin diri lo celaka. Gue mohon jangan nekat lagi ya. Gue sayang sama lo dan gue ga mau kehilangan lo, Kalu.”


Setelah memastikan kalau Devano benar-benar ada di depan rumahnya melalui jendela kamarnya, Kalu akhirnya memutuskan turun untuk membukakan gerbang.

Dengan tubuh yang masih lemas, Kalu berjalan dengan sangat lambat bahkan Devano harus menunggu sampai 5 menit di depan sana.

Tubuh Devano mulai ia tegakkan dari posisi sebelumnya yang menyender di mobil, saat gadis dengan piyama berwarna biru pastel itu mulai membuka gerbangnya. Wajah Kalu yang terlihat pucat, membuat Devano dengan cepat melepaskan jaket miliknya dan langsung memakaikannya di tubuh mungil Kalu.

Kalu terkejut saat jaket milik Devano telah menutupi hampir seluruh tubuh bagian atasnya. “Kenapa dipakein ke gue? Gue ga kedinginan kok.”

Devano menghela nafas kala mendengar pertanyaan lugu dari gadis di depannya. “Wajah lo pucat, gue ga mau lo sampe jatuh sakit, apalagi besok kita ada rencana buat jalan-jalan.”

Kalu hanya ber-oh ria untuk menjawab ucapan Devano. Ia lantas menuntun Devano untuk masuk ke dalam rumahnya agar mereka lebih leluasa untuk berbicara.

“Disini aja,” ucap Devano saat mereka sampai di teras rumah Kalu.

“Ga mau di dalem aja? Takut lo kedinginan kalo disini.”

Devano menggeleng pelan. Kalu yang melihatnya hanya terdiam dan memilih untuk duduk di kursi yang ada disana.

Langit malam ini ternyata sangat indah. Malam ini, para bintang benar-benar tidak malu untuk menampakkan dirinya. Fokus Devano langsung ikut teralih ke langit setelah melihat Kalu yang seperti terhipnotis akan pemandangan di atasnya.

Pukul 23.57 tetapi sampai saat ini Devano masih terdiam dan membuat Kalu bingung atas kedatangannya. Merasa jengah, akhirnya Kalu bertanya, “Dep, ini kita cuma mau diem-dieman aja? Kalo gitu mending gue tidur aja deh.”

Kali ini Kalu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Setelah mengatakan itu, ia langsung bangkit dan hendak masuk ke dalam rumahnya—meninggalkan Devano sendirian di luar sana. Namun, dengan cekatan, Devano sudah berada di depan pintu terlebih dahulu untuk menghalangi Kalu.

“Ngapain sih? Capek tau ga diem-dieman terus. Sekarang lo mau ngapain lagi?”

“Peluk, ya?”

“Hah?”

Tanpa menunggu lebih lama, Devano membawa tubuh ramping Kalu ke dalam dekapannya. Ia menyalurkan kehangatan untuk tubuh Kalu yang secara tiba-tiba terasa dingin.

Kalu yang dipeluknya hanya bisa diam tanpa ikut memeluk Devano. Jujur saja, dari pada seluruh nasehat yang ia dengar dari mulut Devano, Elin, dan mamanya, ia saat ini lebih membutuhkan pelukan dibandingkan seluruh nasehat tersebut.

Devano mulai mengusap rambut Kalu yang terlihat cukup berantakan dan mengusap punggungnya. Keduanya sama-sama nyaman dengan posisi mereka saat ini, sampai tidak menyadari kalau mereka sudah berpelukan selama 15 menit.

“Lulu,” sahut Devano dengan posisi mereka yang masih sama seperti sebelumnya.

Kalu memalingkan wajahnya ke sebelah kanan, dengan maksud supaya bisa melihat wajah lawan bicaranya. “Iya?”

Sebelum melanjutkan omongannya, Devano sekali lagi mengusap rambut Kalu dan balik menatapnya. Mata yang selalu memancarkan kebahagiaan itu, kini lenyap, digantikan dengan sorot sedih dan ketakutan. Tatapan teduh dari Devano mampu membuat jantung Kalu berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dan lagi, Devano berhasil membuat Kalu jatuh cinta yang ke sekian kali kepadanya. Ucapan sederhana yang terucap dari bibirnya dan ucapan yang membuat Kalu semakin memantapkan hatinya untuk laki-laki yang saat ini masih memeluknya.

“Lu, tolong tetap bertahan, ya? Setidaknya buat mama lo, buat warna biru kesukaan lo, buat bias lo, dan pastinya buat gue. Tolong jangan buat gue harus ngerasain gimana rasanya khawatir yang berlebihan lagi setelah denger kabar kalo lo hampir bikin diri lo celaka. Gue mohon jangan nekat lagi ya. Gue sayang sama lo dan gue ga mau kehilangan lo, Kalu.”


“Clara, kamu make up dulu ya, biar pas Devano sampe langsung ganti outfit aja.”

“Mba Vera, ini kabelnya nyambung kemana?”

“Kalu juga langsung ke ruang make up dulu ya, sesi photoshoot kamu habis Devano sama Clara.”

Begitulah suasana studio siang ini. Seluruh staff, photographer, MUA, model, dan manager tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Kalu langsung melangkahkan kakinya ke ruangan yang sama dengan Clara setelah diperintahkan seperti itu. Disana, ada Clara yang tengah didandani dan dipakaikan nail gel oleh sang make up artist.

“Oh, hai Kalu, welcome back!,” seru Clara saat melihat Kalu duduk di sebelahnya. Kalu hanya tersenyum tanpa berniat menjawab sapaan Clara.

“Wah, udah lama ya kita ga ketemu? Kalu apa kabar?,” tanya Rara, sang make up artist yang hari ini bertugas mendandani Kalu.

“Baik, Ra. Kamu sendiri apa kabar?”

“Aku baik juga. Yaudah sekarang aku mulai ya make upnya”

“Iya, Ra.”

Rara dengan telaten langsung memakaikan beberapa jepit rambut dirambut Kalu agar tidak mengganggu proses make up. Suasana yang sudah lama tidak dirasakannya membuat kecanggungan antara Kalu dan Rara. Namun dengan cepat ia tepis.

Di sampingnya, Clara sedang sibuk bergosip dengan Thea yang juga sedang mendandaninya. Kalu saat ini fokus pada penampilan Clara. Ia terlihat sangat cantik dalam polesan make up natural ala artis Korea. Lantas, Kalu langsung menatap dirinya di cermin sambil membandingkan dirinya dengan Clara.

Mulai dari bentuk wajah, mereka berdua sama-sama memiliki wajah yang kecil. Hanya saja, pipi Clara sedikit lebih chubby dibanding Kalu. Lanjut ke bentuk tubuh yang merupakan titik kelemahan Kalu. Ia selalu merasa sangat kalah jauh dengan Clara dalam hal ini. Clara memiliki tubuh yang sempurna dengan berat dan tinggi yang sangat ideal bagi seorang model. Sedangkan Kalu adalah kebalikannya. Walaupun memiliki ukuran tubuh yang tidak terlalu besar, tetapi kejadian beberapa hari lalu sudah cukup membuktikan betapa insecurenya Kalu dengan tubuhnya.

Tak lama, suara tawa laki-laki mulai mendominasi ruangan make up mereka. Devano dan Candra yang baru saja tiba, sedikit terkejut karena di dalam ruangan itu sudah ada Kalu dan Clara. Kalu yang melihat mereka berdua sontak melambaikan tangannya ke mereka dan dibalas dengan sapaan ramah oleh Candra.

Devano melangkah terlebih dahulu dan mengambil tempat di sebelah Kalu. Netra keduanya saling bertatapan, sampai bulan sabit terlihat dikedua mata Devano. Kalu langsung tertawa melihatnya.

“Yang namanya Devano yang mana?”

Clara melihat kanan dan kirinya untuk memastikan siapa pemilik nama Devano yang akan menjadi partner photoshootnya hari ini. Devano langsung menjawab, “Gue. Gue Devano.”

“Oh, salam kenal lagi ya. Semoga hari ini berjalan lancar.” Devano hanya mendengarkan tanpa berniat menatap lawan bicaranya itu.

Ia lanjut mengalihkan pandangannya ke gadis yang saat ini tengah dipakaikan bulu mata palsu dikedua matanya. Kalu terlihat sangat cantik dengan riasan mata berwarna pink kecoklatan dengan glitter yang menghiasinya.

Sesekali Devano ikut tertawa melihat Kalu yang tertawa karena sesuatu yang dikatakan oleh MUA yang mendandani Kalu.

Devano bahkan bersumpah bahwa senyuman Kalu adalah senyuman termanis yang pernah ia lihat. Senyuman yang hanya dimiliki oleh Kalu. Walaupun di luar sana masih banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari Kalu, misalnya Jennie Blackpink dan Irene Red Velvet, tapi baginya, tetap akan Kalu yang menjadi pemenangnya.

Entahlah, yang pasti saat ini biarkan Devano mengagumi kecantikan perempuan di sebelahnya ini. Kecantikan yang mulai saat ini akan selalu mengisi kepala Devano.

Dan kecantikan yang mungkin akan selalu abadi dikenang oleh Devano.

“Dep, kok bengong? Awas kesambet setan loh,” Kalu menyadarkan Devano dari lamunannya sambil tertawa. Devano mencoba memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali agar dirinya kembali sadar dari lamunannya terhadap Kalu.

“Eh? Hahahaha,” balas Devano.

“Lo udah selesai?,” tanya Elin yang baru sampai di ruang make up. Ia juga menaikkan alisnya dengan maksud menyapa Devano.

“Udah”

“Yaudah kalo gitu lo langsung ganti baju aja sekarang”

“Oke”

Elin keluar terlebih dahulu untuk menyiapkan baju Kalu. Sebelum pergi, Kalu melihat ke sebelah kanannya. Ia melihat Clara masih sibuk dengan riasan bibirnya, sedangkan Candra yang baru mulai didandani.

Di sebelah kirinya ada Devano yang masih santai memainkan handphonenya. Ia terlihat 1000 kali lebih tampan saat ini. Hanya dengan kaos putih tipis dan celana panjang denim, mampu membuat Kalu salah tingkah melihatnya.

“Udah selesai?,” tanya Devano yang sekarang mulai bersiap didandani oleh Rara.

“Udah. Gue duluan ke ruang ganti ya”

“Sebentar. Coba sini deketan.”

Kalu diam sebentar sambil mencerna ucapan Devano. Namun, sedetik kemudian ia memajukan tubuhnya dekat Devano. “Ngapain?”

Kalu menegang saat tangan Devano menyentuh bibirnya. Ia mengusap pelan bagian bawah bibir Kalu dan lanjut beralih menatap matanya. “Lipstik lo sedikit berantakan tadi dibagian bawah, tapi sekarang udah rapi.”

“Makasih, Dep, gue pergi dulu ya.” Kalu langsung membenarkan posisinya dan hendak berjalan keluar, guna menghindari rasa gugupnya terhadap Devano. Sial, lagi dan lagi perlakuan manis Devano selalu mampu membuat gadis itu kehilangan akal sehatnya. Ditambah dengan ucapan manis yang keluar dari mulut Devano saat ini, hampir membuat Kalu kehilangan keseimbangannya.

“Kalu, lo cantik hari ini. Semangat photoshootnya.”

Kalu langsung berjalan keluar tanpa berniat membalas ucapan Devano. Sedangkan orang lain yang ada disana langsung menatap curiga ke Devano dan Kalu. Terutama Clara. Ia lantas mengeluarkan senyum sinisnya tanpa disadari oleh siapapun.


“Oke, selesai. Good job Kaluela, ini hasilnya keliatan bagus semua.” Pujian langsung terlontar dari mulut Surya—photographer studio mereka.

Kalu langsung tersenyum begitu mendengarnya. “Terima kasih, Kak Surya.”

Di belakang sana, ada Clara, Candra, dan Devano yang ikut menyaksikan pemotretan yang dilakukan Kalu. Devano ikut tepuk tangan kala mendengar pujian Surya terhadap Kalu.

“Lo keliatan naksir banget ya sama Kalu,” bisik Candra sedikit meledek Devano. Candra terlalu pandai dalam menebak hubungan percintaan sahabatnya jadi ia sangat yakin kalau Devano saat ini tengah jatuh cinta kepada Kalu.

Devano tersenyum dan menjawab dengan jujur. “Iya.”

Baginya, sudah tidak ada lagi alasan buat menutupi rasa sukanya ke Kalu. Apalagi di depan sahabatnya yang sudah sangat tahu tentang hubungan asmaranya.

“Clara sama Devano, ayo sekarang giliran kalian.”

Mereka langsung berjalan ke depan dan bersiap dengan pose yang mereka peragakan. Surya yang juga bertugas untuk mengarahkan pose ke para modelnya, saat ini langsung mengarahkan pose ke Clara dan Devano. Ia meminta agar Devano berdiri di sebelah kanan Clara dan sedikit mundur ke belakang. Sedangkan Clara tetap diam dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Kalu yang memang sengaja tetap diam disana, merasa sedikit cemburu dengan Clara. Ia melihat bagaimana Clara yang mencoba lebih dekat dengan Devano sedangkan Devano yang justru ingin menghindar.

“Coba Devano lebih deket lagi sama Clara terus kepalanya dimajuin biar sejajar sama Clara,” sorak Surya. Surya sendiri merasa gemas karena dua model di depannya ini sangat canggung. Lantas ia mengarahkan kembali gaya untuk Devano agar mereka terlihat lebih serasi. “Devano coba tangannya juga rangkul Clara, supaya lebih serasi.”

Dengan perasaan tidak suka, Devano tetap mengikuti arahan Surya. Bagaimanapun ia harus terlihat professional dalam pekerjaannya. Ia melirik Kalu yang saat ini berada di pojok. Pandangan keduanya kembali bertemu, namun dengan cepat Kalu mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah lain.

Setelah dirasa semuanya siap, Surya langsung memberi aba-aba kalau ia akan segera memotret mereka. Devano dan Clara melanjutkan sesi pemotretan mereka dengan canggung, namun ternyata hasilnya sangat memuaskan bagi mereka yang baru pertama kali menjadi partner.

“Oke beres, thank you Clara, Vano. Gue yakin hasilnya bagus juga kayak punya Kalu sama Candra. Tapi kalian berdua masih keliatan canggung sih, coba chemistrynya lebih ditingkatkan ya supaya lebih memuaskan nanti.”

Keduanya sama-sama mengangguk dan langsung kembali ke ruang ganti. Devano menatap sekitarnya untuk mencari keberadaan Kalu, namun nihil. Ia tidak melihat Kalu disana. Lantas ia berjalan cepat ke ruang ganti untuk mencari Kalu disana.

Kalu yang baru saja meninggalkan ruang ganti dan hendak menuju mobil Elin, langsung terhenti saat diriny menabrak sesuatu. “Aduh! Kepala gue,” rintih Kalu yang merasa kesakitan saat kepalanya menabrak sesuatu.

Ia menatap seseorang dihadapannya dan netranya jatuh ke wajah Devano. Kalu terkejut dan refleks melangkah mundur. Ia juga memberikan Devano akses jalan ke dalam tetapi yang terjadi adalah Devano justru menggenggam tangannya untuk ikut ke dalam.

Kalu memberontak agar genggamannya dilepaskan karena ia sendiri sangat canggung, ditambah tatapan intimidasi dari orang disekitar mereka. “Dep, lepasin! Jangan genggaman gini, ga enak diliatin orang.”

Perlahan Devano melepaskan genggamannya dari tangan Kalu. Ia menatap Kalu yang sedikit gelisah sambil mengusap tangannya. Tangan yang sebelumnya digenggam Devano, ternyata memberikan bekas kemerahan. Sontak Devano langsung mengusap pelan tangan Kalu dan mengucapkan maaf berkali-kali.

Tanpa mereka berdua sadari, kini seluruh tatapan orang-orang yang berada di dalam ruang ganti, termasuk Elin, Clara, Candra, dan Mba Vera, tengah menatap mereka berdua.

Dan sekali lagi, tanpa mereka berdua sadari, keduanya telah sama-sama jatuh. Jatuh ke dalam perasaan yang mereka sendiri tidak sadari. Terutama bagi Kalu. Perasaan yang akan mengubah cara pandang mereka terhadap satu sama lain dan hubungan mereka.

“Gue tunggu di mobil ya, nanti pulang bareng gue.”

Devano lantas meninggalkan ruang ganti usai berkata demikian ke Kalu. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang sekitarnya, Devano yakin bahwa mereka akan menjadi bahan perbincangan disana.

Namun, berbeda dengan Kalu. Ia cukup takut untuk beranjak atau sekedar membalikkan tubuhnya dari posisinya saat ini. Ia takut melihat tatapan orang-orang yang mungkin akan melontarkan kata-kata kurang pantas ke dirinya. Deja vu mulai mendominasi pikirannya. Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya dan Kalu pastikan apa yang akan terjadi setelahnya akan sama seperti sebelumnya.