319; Sampai berjumpa lagi.


Kalu bersandar di kursi penumpang dengan tangan kanan yang sibuk memegang ponsel dan menggigit kukunya—gelisah. Devano yang berada di sampingnya hanya menghela nafasnya.

Mereka berdua sudah tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta sekitar satu jam yang lalu. Namun sampai saat ini, orang yang akan ditemui Kalu masih tidak memberinya kabar. Sementara Devano hanya diam sambil memainkan ponselnya. Ia sengaja tidak bertanya banyak ke Kalu karena gadis di sebelahnya sedang tidak mood untuk ditanya-tanya.

Jika kalian bertanya mengapa Devano bisa ikut menemani Kalu, alasannya karena Devano takut kalau Kalu sampai kenapa-napa. Ia takut jika ada hal buruk yang terjadi ke Kalu jika ia biarkan pergi sendiri menemui Clara. Apalagi Clara adalah orang yang membuat Kalu celaka tempo hari lalu.

Sudah berulang kali Kalu mencoba menelfonnya, tapi nihil, tidak ada jawaban dari Clara. Padahal jelas-jelas jam sudah menunjukkan angka 3, di mana sudah lewat satu jam dari perjanjian mereka.

Kalu langsung mendesis pelan karena lelah menunggu kabar dari Clara. “Hei, mau pulang aja?,” tanya Devano. Ia sendiri tak tega melihat kekasihnya yang dilanda rasa gelisah.

Kalu menggeleng. Ia tidak mau pulang sebelum bertemu Clara. Walaupun sebenarnya tujuan kedatangannya ke sini belum jelas, karena Clara secara mendadak memintanya datang ke bandara, namun Kalu yakin, kalau saat ini Clara sedang tidak main-main dengannya.

15 menit menunggu, sampai akhirnya ponsel Kalu berbunyi. Tertera nama seseorang yang sudah ia tunggu sejak tadi di layar ponselnya. Tanpa menunggu lebih lama, Kalu pun langsung mengangkat telfonnya. “Halo?”

“Lo di mana?,” sahut Clara di seberang sana.

“Gue masih ada di mobil. Lo di mana, Clar?”

“Gue ada di pintu masuk deket parkiran. Lo ke sini, deh.”

Setelah berbicara dengan Clara, Kalu dan Devano langsung bergegas menghampiri Clara. Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka mencari Clara. Dengan melihat pakaian perempuan yang cukup nyentrik, mereka sudah tahu kalau dia adalah Clara. Perempuan yang saat ini menggunakan atasan crop berwarna krem dengan cardigan pink neon, dipadukan dengan kulot berwarna navy, serta sepatu hitam. Membuat Clara dari tadi mendapatkan perhatian dari banyak orang karena pakaiannya yang cukup mencolok.

Namun dibanding itu semua, Kalu justru fokus terhadap dua koper yang ada di sebelah Clara. Dalam hati ia berdoa, semoga apa yang ia pikirkan semalam tidak kejadian.

“Lama banget, sih.” Clara langsung protes karena dirinya yang sudah lama menunggu Kalu di sini. Sementara Kalu dan Devano yang baru tiba, langsung emosi.

“Harusnya kita yang bilang gitu ke lo. Kita udah nungguin lo selama sejam lebih di sini. Lo dichat sama ditelpon Kalu juga ga ngejawab sama sekali,” Devano berucap dengan suaranya yang dibuat sehalus mungkin agar tidak ketahuan Kalu kalau ia sedang emosi.

Tanpa rasa salah sedikitpun, Clara dengan santai menjawab. “Pesawat gue delay, baru flight jam 5. Makanya gue baru dateng sekarang. Tadi di jalan juga sinyal gue jelek, jadi ga bisa ngabarin Kalu.”

“Lo mau ke mana?” Kalu bertanya dengan bingung. Pasalnya ini terlalu mendadak.

Sebelum menjawab pertanyaan Kalu, Clara justru memberikan Kalu sebuah kotak dengan logo dari brand aksesoris ternama di atasnya. Kalu sempat bingung sesaat, namun tangannya sudah ditarik paksa agar menerima pemberian dari Clara.

“Kalung buat lo. Dipake ya, anggap aja kenang-kenangan dari gue.”

“Jawab dulu pertanyaan gue, Clara. Lo mau ke mana?”

Clara terkekeh. Ia bahkan tidak percaya akan mengatakan ini ke Kalu, namun sepertinya ini adalah waktu yang tepat. “Gue mau pergi ke Paris. Gue bakal kuliah dan tinggal di sana. Lo inget cita-cita gue dulu, kan? Gue mau raih cita-cita gue sebagai desainer di sana.”

Kalu menatap Clara tidak percaya. Rasanya saat ini seperti mimpi bagi Kalu. “Tapi kenapa mendadak gini, Clar?”

“Sebenernya ini udah gue planning dari lama. Cepat atau lambat gue emang bakal lanjutin kuliah gue. Gue bakal mulai semuanya dari awal… tapi bukan di sini. Gue ga bisa harus mulai semuanya dari awal di negara ini, Kalu. Terlalu banyak hal yang bikin gue sakit hati dan rasa bersalah gue ke lo yang sangat banyak, itu yang bikin gue mutusin untuk tinggal di Paris.”

“Lo ga harus pergi ke sana, Clara… lo ga usah mikirin apa yang udah lo lakuin ke gue selama ini karena gue udah maafin lo dari lama. Bahkan gue ga pernah marah ke lo atas apa yang udah lo perbuat ke gue. Jadi please… jangan pergi ya?” Kalu meraih tangan Clara supaya bisa menghentikan Clara pergi. Namun nasi sudah jadi bubur, Clara tetap akan pergi ke Paris, apapun yang terjadi.

“Makasih banyak Kalu karena lo udah selalu baik ke gue. Tapi maaf, kali ini gue bener-bener harus pergi. Gue merasa ga pantas buat masih ada di sini, apalagi tindakan gue yang bikin lo tenggelam kemarin udah tersebar luas, udah ga ada harapan juga buat gue tetep ada di sini. Karir gue udah jatuh, udah ga ada lagi yang percaya sama gue, bah—“

“Ada, gue yang percaya sama lo,” potong kalu.

Clara tertawa. “Oke, gue percaya. Tapi sekarang gue harus pergi, soalnya satu setengah jam lagi pesawat gue udah lepas landas.”

“Lo beneran mau pergi?”

“Masih belum jelas ucapan gue tadi?”

Kalu lemas. Ia gagal menahan Clara untuk tetap tinggal di sini. Dan Ia gagal menjadi sahabat yang baik untuknya.

“Jangan sedih dong. Gue di sana ga bakal selamanya kok. Mungkin 6 tahun lagi gue udah balik ke Indonesia. Jadi selama itu, lo harus pergunakan waktu lo dengan baik. Dan jangan berubah ya, Kalu?”

Kalu mengernyit. “Gue malu buat bilang ini tapi… temen gue itu cuma lo, Kalu. Gue udah ga punya siapa-siapa lagi sekarang yang bisa gue jadiin tempat buat bersandar. Semuanya pergi, ga ada yang tersisa,” sambung Clara.

Tanpa menjawab, Kalu langsung memeluk Clara. Clara yang sejak tadi sudah menahan air matanya, langsung menumpahkan semuanya saat Kalu memeluknya. Rasanya, segala beban yang ia pendam sebelum berangkat menuju Paris, hilang seketika. Setidaknya, Clara berhasil mengucapkan apa yang ia pendam dari dulu.

“Makasih udah selalu baik ke gue, Kalu. Gue beruntung bisa kenal sama lo.” Kalu tersenyum. Ia enggan mengatakan sepatah kata karena saat ini ia hanya ingin mendengarkan Clara.

“Sekali lagi, gue mau minta maaf atas semua perbuatan gue ke lo. Gue tau kalo perbuatan gue sama sekali ga bisa dimaafkan, bahkan kalo lo mau balas atau hukum gue, gue ga akan keberatan, karena setidaknya dengan itu, rasa bersalah gue jadi berkurang.”

“Ga usah mikirin kesalahan lo yang dulu, Clar. Gue kan udah bilang, gue udah maafin lo dari dulu. Jadi jangan terlalu dipikirin ya?”

Clara mengangguk. Kini Clara sudah bersiap untuk masuk ke dalam bandara. Dan sekali lagi, ia mengucapkan salam perpisahan kepada Kalu dan Devano.

Tak lupa, ia menitipkan pesan untuk Devano. “Jagain Kalu ya, Van. Buat dia selalu bahagia juga.”

Devano mengangguk dan membalas, “Tenang aja, tanpa lo suruh juga gue bakal lakuin itu. Lo jaga diri baik-baik ya di sana. Inget, jangan ulang perbuatan lo yang dulu selama ada di sana.”

“Iya, tenang aja, gue udah tobat kok.”

Mereka bertiga sama-sama tertawa. Setelah berpelukan sekali lagi, Clara sekarang benar-benar sudah pergi. Kalu berharap semoga hari-hari Clara selanjutnya akan selalu berjalan dengan lancar dan penuh kebahagiaan. Dan ia akan tetap menunggu, sebagai sahabat, sampai Clara kembali lagi. Dengan versi terbaik dari dirinya.

“Yuk, balik ke mobil,” ajak Devano.

Sebelum benar-benar balik ke mobil mereka, Kalu berkata dengan pelan, sangat pelan, bahkan Devano tidak mendengarnya.

“Sampai jumpa Clara, i’ll miss you…”