170; She fell in love again, with him.


Setelah memastikan kalau Devano benar-benar ada di depan rumahnya melalui jendela kamarnya, Kalu akhirnya memutuskan turun untuk membukakan gerbang.

Dengan tubuh yang masih lemas, Kalu berjalan dengan sangat lambat bahkan Devano harus menunggu sampai 5 menit di depan sana.

Tubuh Devano mulai ia tegakkan dari posisi sebelumnya yang menyender di mobil, saat gadis dengan piyama berwarna biru pastel itu mulai membuka gerbangnya. Wajah Kalu yang terlihat pucat, membuat Devano dengan cepat melepaskan jaket miliknya dan langsung memakaikannya di tubuh mungil Kalu.

Kalu terkejut saat jaket milik Devano telah menutupi hampir seluruh tubuh bagian atasnya. “Kenapa dipakein ke gue? Gue ga kedinginan kok.”

Devano menghela nafas kala mendengar pertanyaan lugu dari gadis di depannya. “Wajah lo pucat, gue ga mau lo sampe jatuh sakit, apalagi besok kita ada rencana buat jalan-jalan.”

Kalu hanya ber-oh ria untuk menjawab ucapan Devano. Ia lantas menuntun Devano untuk masuk ke dalam rumahnya agar mereka lebih leluasa untuk berbicara.

“Disini aja,” ucap Devano saat mereka sampai di teras rumah Kalu.

“Ga mau di dalem aja? Takut lo kedinginan kalo disini.”

Devano menggeleng pelan. Kalu yang melihatnya hanya terdiam dan memilih untuk duduk di kursi yang ada disana.

Langit malam ini ternyata sangat indah. Malam ini, para bintang benar-benar tidak malu untuk menampakkan dirinya. Fokus Devano langsung ikut teralih ke langit setelah melihat Kalu yang seperti terhipnotis akan pemandangan di atasnya.

Pukul 23.57 tetapi sampai saat ini Devano masih terdiam dan membuat Kalu bingung atas kedatangannya. Merasa jengah, akhirnya Kalu bertanya, “Dep, ini kita cuma mau diem-dieman aja? Kalo gitu mending gue tidur aja deh.”

Kali ini Kalu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Setelah mengatakan itu, ia langsung bangkit dan hendak masuk ke dalam rumahnya—meninggalkan Devano sendirian di luar sana. Namun, dengan cekatan, Devano sudah berada di depan pintu terlebih dahulu untuk menghalangi Kalu.

“Ngapain sih? Capek tau ga diem-dieman terus. Sekarang lo mau ngapain lagi?”

“Peluk, ya?”

“Hah?”

Tanpa menunggu lebih lama, Devano membawa tubuh ramping Kalu ke dalam dekapannya. Ia menyalurkan kehangatan untuk tubuh Kalu yang secara tiba-tiba terasa dingin.

Kalu yang dipeluknya hanya bisa diam tanpa ikut memeluk Devano. Jujur saja, dari pada seluruh nasehat yang ia dengar dari mulut Devano, Elin, dan mamanya, ia saat ini lebih membutuhkan pelukan dibandingkan seluruh nasehat tersebut.

Devano mulai mengusap rambut Kalu yang terlihat cukup berantakan dan mengusap punggungnya. Keduanya sama-sama nyaman dengan posisi mereka saat ini, sampai tidak menyadari kalau mereka sudah berpelukan selama 15 menit.

“Lulu,” sahut Devano dengan posisi mereka yang masih sama seperti sebelumnya.

Kalu memalingkan wajahnya ke sebelah kanan, dengan maksud supaya bisa melihat wajah lawan bicaranya. “Iya?”

Sebelum melanjutkan omongannya, Devano sekali lagi mengusap rambut Kalu dan balik menatapnya. Mata yang selalu memancarkan kebahagiaan itu, kini lenyap, digantikan dengan sorot sedih dan ketakutan. Tatapan teduh dari Devano mampu membuat jantung Kalu berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dan lagi, Devano berhasil membuat Kalu jatuh cinta yang ke sekian kali kepadanya. Ucapan sederhana yang terucap dari bibirnya dan ucapan yang membuat Kalu semakin memantapkan hatinya untuk laki-laki yang saat ini masih memeluknya.

“Lu, tolong tetap bertahan, ya? Setidaknya buat mama lo, buat warna biru kesukaan lo, buat bias lo, dan pastinya buat gue. Tolong jangan buat gue harus ngerasain gimana rasanya khawatir yang berlebihan lagi setelah denger kabar kalo lo hampir bikin diri lo celaka. Gue mohon jangan nekat lagi ya. Gue sayang sama lo dan gue ga mau kehilangan lo, Kalu.”