rosestyongg


“Clara, kamu make up dulu ya, biar pas Devano sampe langsung ganti outfit aja.”

“Mba Vera, ini kabelnya nyambung kemana?”

“Kalu juga langsung ke ruang make up dulu ya, sesi photoshoot kamu habis Devano sama Clara.”

Begitulah suasana studio siang ini. Seluruh staff, photographer, MUA, model, dan manager tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Kalu langsung melangkahkan kakinya ke ruangan yang sama dengan Clara setelah diperintahkan seperti itu. Disana, ada Clara yang tengah didandani dan dipakaikan nail gel oleh sang make up artist.

“Oh, hai Kalu, welcome back!,” seru Clara saat melihat Kalu duduk di sebelahnya. Kalu hanya tersenyum tanpa berniat menjawab sapaan Clara.

“Wah, udah lama ya kita ga ketemu? Kalu apa kabar?,” tanya Rara, sang make up artist yang hari ini bertugas mendandani Kalu.

“Baik, Ra. Kamu sendiri apa kabar?”

“Aku baik juga. Yaudah sekarang aku mulai ya make upnya”

“Iya, Ra.”

Rara dengan telaten langsung memakaikan beberapa jepit rambut dirambut Kalu agar tidak mengganggu proses make up. Suasana yang sudah lama tidak dirasakannya membuat kecanggungan antara Kalu dan Rara. Namun dengan cepat ia tepis.

Di sampingnya, Clara sedang sibuk bergosip dengan Thea yang juga sedang mendandaninya. Kalu saat ini fokus pada penampilan Clara. Ia terlihat sangat cantik dalam polesan make up natural ala artis Korea. Lantas, Kalu langsung menatap dirinya di cermin sambil membandingkan dirinya dengan Clara.

Mulai dari bentuk wajah, mereka berdua sama-sama memiliki wajah yang kecil. Hanya saja, pipi Clara sedikit lebih chubby dibanding Kalu. Lanjut ke bentuk tubuh yang merupakan titik kelemahan Kalu. Ia selalu merasa sangat kalah jauh dengan Clara dalam hal ini. Clara memiliki tubuh yang sempurna dengan berat dan tinggi yang sangat ideal bagi seorang model. Sedangkan Kalu adalah kebalikannya. Walaupun memiliki ukuran tubuh yang tidak terlalu besar, tetapi kejadian beberapa hari lalu sudah cukup membuktikan betapa insecurenya Kalu dengan tubuhnya.

Tak lama, suara tawa laki-laki mulai mendominasi ruangan make up mereka. Devano dan Candra yang baru saja tiba, sedikit terkejut karena di dalam ruangan itu sudah ada Kalu dan Clara. Kalu yang melihat mereka berdua sontak melambaikan tangannya ke mereka dan dibalas dengan sapaan ramah oleh Candra.

Devano melangkah terlebih dahulu dan mengambil tempat di sebelah Kalu. Netra keduanya saling bertatapan, sampai bulan sabit terlihat dikedua mata Devano. Kalu langsung tertawa melihatnya.

“Yang namanya Devano yang mana?”

Clara melihat kanan dan kirinya untuk memastikan siapa pemilik nama Devano yang akan menjadi partner photoshootnya hari ini. Devano langsung menjawab, “Gue. Gue Devano.”

“Oh, salam kenal lagi ya. Semoga hari ini berjalan lancar.” Devano hanya mendengarkan tanpa berniat menatap lawan bicaranya itu.

Ia lanjut mengalihkan pandangannya ke gadis yang saat ini tengah dipakaikan bulu mata palsu dikedua matanya. Kalu terlihat sangat cantik dengan riasan mata berwarna pink kecoklatan dengan glitter yang menghiasinya.

Sesekali Devano ikut tertawa melihat Kalu yang tertawa karena sesuatu yang dikatakan oleh MUA yang mendandani Kalu.

Devano bahkan bersumpah bahwa senyuman Kalu adalah senyuman termanis yang pernah ia lihat. Senyuman yang hanya dimiliki oleh Kalu. Walaupun di luar sana masih banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari Kalu, misalnya Jennie Blackpink dan Irene Red Velvet, tapi baginya, tetap akan Kalu yang menjadi pemenangnya.

Entahlah, yang pasti saat ini biarkan Devano mengagumi kecantikan perempuan di sebelahnya ini. Kecantikan yang mulai saat ini akan selalu mengisi kepala Devano.

Dan kecantikan yang mungkin akan selalu abadi dikenang oleh Devano.

“Dep, kok bengong? Awas kesambet setan loh,” Kalu menyadarkan Devano dari lamunannya sambil tertawa. Devano mencoba memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali agar dirinya kembali sadar dari lamunannya terhadap Kalu.

“Eh? Hahahaha,” balas Devano.

“Lo udah selesai?,” tanya Elin yang baru sampai di ruang make up. Ia juga menaikkan alisnya dengan maksud menyapa Devano.

“Udah”

“Yaudah kalo gitu lo langsung ganti baju aja sekarang”

“Oke”

Elin keluar terlebih dahulu untuk menyiapkan baju Kalu. Sebelum pergi, Kalu melihat ke sebelah kanannya. Ia melihat Clara masih sibuk dengan riasan bibirnya, sedangkan Candra yang baru mulai didandani.

Di sebelah kirinya ada Devano yang masih santai memainkan handphonenya. Ia terlihat 1000 kali lebih tampan saat ini. Hanya dengan kaos putih tipis dan celana panjang denim, mampu membuat Kalu salah tingkah melihatnya.

“Udah selesai?,” tanya Devano yang sekarang mulai bersiap didandani oleh Rara.

“Udah. Gue duluan ke ruang ganti ya”

“Sebentar. Coba sini deketan.”

Kalu diam sebentar sambil mencerna ucapan Devano. Namun, sedetik kemudian ia memajukan tubuhnya dekat Devano. “Ngapain?”

Kalu menegang saat tangan Devano menyentuh bibirnya. Ia mengusap pelan bagian bawah bibir Kalu dan lanjut beralih menatap matanya. “Lipstik lo sedikit berantakan tadi dibagian bawah, tapi sekarang udah rapi.”

“Makasih, Dep, gue pergi dulu ya.” Kalu langsung membenarkan posisinya dan hendak berjalan keluar, guna menghindari rasa gugupnya terhadap Devano. Sial, lagi dan lagi perlakuan manis Devano selalu mampu membuat gadis itu kehilangan akal sehatnya. Ditambah dengan ucapan manis yang keluar dari mulut Devano saat ini, hampir membuat Kalu kehilangan keseimbangannya.

“Kalu, lo cantik hari ini. Semangat photoshootnya.”

Kalu langsung berjalan keluar tanpa berniat membalas ucapan Devano. Sedangkan orang lain yang ada disana langsung menatap curiga ke Devano dan Kalu. Terutama Clara. Ia lantas mengeluarkan senyum sinisnya tanpa disadari oleh siapapun.


“Oke, selesai. Good job Kaluela, ini hasilnya keliatan bagus semua.” Pujian langsung terlontar dari mulut Surya—photographer studio mereka.

Kalu langsung tersenyum begitu mendengarnya. “Terima kasih, Kak Surya.”

Di belakang sana, ada Clara, Candra, dan Devano yang ikut menyaksikan pemotretan yang dilakukan Kalu. Devano ikut tepuk tangan kala mendengar pujian Surya terhadap Kalu.

“Lo keliatan naksir banget ya sama Kalu,” bisik Candra sedikit meledek Devano. Candra terlalu pandai dalam menebak hubungan percintaan sahabatnya jadi ia sangat yakin kalau Devano saat ini tengah jatuh cinta kepada Kalu.

Devano tersenyum dan menjawab dengan jujur. “Iya.”

Baginya, sudah tidak ada lagi alasan buat menutupi rasa sukanya ke Kalu. Apalagi di depan sahabatnya yang sudah sangat tahu tentang hubungan asmaranya.

“Clara sama Devano, ayo sekarang giliran kalian.”

Mereka langsung berjalan ke depan dan bersiap dengan pose yang mereka peragakan. Surya yang juga bertugas untuk mengarahkan pose ke para modelnya, saat ini langsung mengarahkan pose ke Clara dan Devano. Ia meminta agar Devano berdiri di sebelah kanan Clara dan sedikit mundur ke belakang. Sedangkan Clara tetap diam dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Kalu yang memang sengaja tetap diam disana, merasa sedikit cemburu dengan Clara. Ia melihat bagaimana Clara yang mencoba lebih dekat dengan Devano sedangkan Devano yang justru ingin menghindar.

“Coba Devano lebih deket lagi sama Clara terus kepalanya dimajuin biar sejajar sama Clara,” sorak Surya. Surya sendiri merasa gemas karena dua model di depannya ini sangat canggung. Lantas ia mengarahkan kembali gaya untuk Devano agar mereka terlihat lebih serasi. “Devano coba tangannya juga rangkul Clara, supaya lebih serasi.”

Dengan perasaan tidak suka, Devano tetap mengikuti arahan Surya. Bagaimanapun ia harus terlihat professional dalam pekerjaannya. Ia melirik Kalu yang saat ini berada di pojok. Pandangan keduanya kembali bertemu, namun dengan cepat Kalu mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah lain.

Setelah dirasa semuanya siap, Surya langsung memberi aba-aba kalau ia akan segera memotret mereka. Devano dan Clara melanjutkan sesi pemotretan mereka dengan canggung, namun ternyata hasilnya sangat memuaskan bagi mereka yang baru pertama kali menjadi partner.

“Oke beres, thank you Clara, Vano. Gue yakin hasilnya bagus juga kayak punya Kalu sama Candra. Tapi kalian berdua masih keliatan canggung sih, coba chemistrynya lebih ditingkatkan ya supaya lebih memuaskan nanti.”

Keduanya sama-sama mengangguk dan langsung kembali ke ruang ganti. Devano menatap sekitarnya untuk mencari keberadaan Kalu, namun nihil. Ia tidak melihat Kalu disana. Lantas ia berjalan cepat ke ruang ganti untuk mencari Kalu disana.

Kalu yang baru saja meninggalkan ruang ganti dan hendak menuju mobil Elin, langsung terhenti saat diriny menabrak sesuatu. “Aduh! Kepala gue,” rintih Kalu yang merasa kesakitan saat kepalanya menabrak sesuatu.

Ia menatap seseorang dihadapannya dan netranya jatuh ke wajah Devano. Kalu terkejut dan refleks melangkah mundur. Ia juga memberikan Devano akses jalan ke dalam tetapi yang terjadi adalah Devano justru menggenggam tangannya untuk ikut ke dalam.

Kalu memberontak agar genggamannya dilepaskan karena ia sendiri sangat canggung, ditambah tatapan intimidasi dari orang disekitar mereka. “Dep, lepasin! Jangan genggaman gini, ga enak diliatin orang.”

Perlahan Devano melepaskan genggamannya dari tangan Kalu. Ia menatap Kalu yang sedikit gelisah sambil mengusap tangannya. Tangan yang sebelumnya digenggam Devano, ternyata memberikan bekas kemerahan. Sontak Devano langsung mengusap pelan tangan Kalu dan mengucapkan maaf berkali-kali.

Tanpa mereka berdua sadari, kini seluruh tatapan orang-orang yang berada di dalam ruang ganti, termasuk Elin, Clara, Candra, dan Mba Vera, tengah menatap mereka berdua.

Dan sekali lagi, tanpa mereka berdua sadari, keduanya telah sama-sama jatuh. Jatuh ke dalam perasaan yang mereka sendiri tidak sadari. Terutama bagi Kalu. Perasaan yang akan mengubah cara pandang mereka terhadap satu sama lain dan hubungan mereka.

“Gue tunggu di mobil ya, nanti pulang bareng gue.”

Devano lantas meninggalkan ruang ganti usai berkata demikian ke Kalu. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang sekitarnya, Devano yakin bahwa mereka akan menjadi bahan perbincangan disana.

Namun, berbeda dengan Kalu. Ia cukup takut untuk beranjak atau sekedar membalikkan tubuhnya dari posisinya saat ini. Ia takut melihat tatapan orang-orang yang mungkin akan melontarkan kata-kata kurang pantas ke dirinya. Deja vu mulai mendominasi pikirannya. Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya dan Kalu pastikan apa yang akan terjadi setelahnya akan sama seperti sebelumnya.


Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, tetapi gadis yang sudah ditunggu-tunggu oleh Devano tak juga kunjung menampakkan dirinya. Berkali-kali ia mencoba menelfon dan mengirimkan pesan pada Sienna, namun tetap tak mendapat jawaban. Pikiran Devano sudah kalang kabut sekarang karena pasiennya itu adalah gadis yang sangat ceroboh dan nekat, itulah sebabnya pikiran negatif terus bermunculan di otak Devano.

“Berhenti nelpon gue, bisa ga?” ucap gadis dengan pakaian sangat nyentrik yang saat ini sudah berada di pintu ruangan Devano.

“Kamu kenapa baru dateng jam segini, Sienna?”

“Habis mampir beli rokok.”

Devano yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas. Sudah bukan hal asing baginya kala mendengar kalau Sienna adalah perokok. Sebenarnya sudah sering Devano mengingatkannya untuk berhenti merokok, apalagi mengingat umurnya yang masih cukup muda, tapi tetap saja Sienna tidak akan pernah melakukannya.

“Kak, gue sebenernya ga mau konseling hari ini. Tapi ada satu hal yang harus lo tau!”

“Apa?”

“Papa gue beliin kado ulang tahun buat gue, Kak!” sorot mata Sienna tidak bisa berbohong kalau gadis itu sangat bahagia saat ini.

Devano tersenyum melihatnya. Pasalnya, setelah apa yang sudah dilalui Sienna selama ini, wajar sekali kalau gadis itu terlihat bahagia. Bahkan hal sekecil papanya mengajaknya berbicara saja sudah mampu membuat gadis dengan rambut hitam panjang di hadapan Devano ini bahagia.

Sienna kemudian bangkit dari duduknya dan mengeluarkan dua buah tiket dari dalam tasnya. Devano kemudia bertanya, “Itu tiket apa?”

“Tiket buat ke pasar malam. Jadi tadi itu gue mampir ke pasar malam dulu buat beli tiket makanya gue telat, Kak”

“Terus?”

“Ayo ke pasar malam! Gue pengen naik bianglala trus beli permen kapas,” soraknya dengan antusias.

Sienna mencoba membujuk Devano agar menemaninya kesana. Walaupun Sienna sebenarnya bisa jalan-jalan sendiri tapi untuk malam ini biarlah ia bersama seseorang kesana. Hitung-hitung sebagai traktiran karena hari ini ia sedang bahagia.

“Yaudah, aku mau, tapi satu jam aja gapapa?”

“Iya gapapa.”

Kini keduanya sama-sama berangkat ke pasar malam menggunakan mobil Devano. Berbicara mengenai Sienna, ia adalah anak tunggal dari pasangan yang cukup terkenal karena bisnisnya. Namun, ibu Sienna sudah meninggal sejak ia masih berumur 4 tahun karena sakit jantung yang dideritanya. Karena itulah ayah Sienna merasa kesal dan benci kepadanya, sebab ayahnya merasa istrinya meninggal karena mengandung dan melahirkan Sienna.

Maka seperti inilah Sienna sekarang. Di umurnya yang baru menginjak 21 tahun, ia sudah terbiasa hidup sendiri. Bahkan ia hanya sekolah sampai SMA saja karena baginya tidak ada gunanya berkuliah sebab ia sendiri tidak memiliki cita-cita sebagai tujuan hidupnya. Selain itu, ia merasa nyaman dengan kehidupannya yang sudah lebih dari cukup karena walaupun ayahnya jarang berbicara dengannya atau menemuinya, tetapi ia tetap rajin memberikan uang jajan kepada Sienna.

Malam ini langit begitu indah. Sienna berjalan terlebih dahulu ke pasar malam dan meninggalkan Devano yang masih sibuk memarkirkan mobilnya. Di dalam sana, Devano bingung mencari Sienna karena ramainya pasar malam. Tapi setelah berada di lokasi bianglala, ia langsung menemukan Sienna. Gadis itu sedang mengantre untuk masuk ke dalam sana.

“Kak Vano, sini!,” teriak Sienna.

Devano langsung menyalip antrian setelah dipanggil oleh Sienna. Setelah masuk ke dalam bianglala, Sienna langsung mengeluarkan ponselnya dan memotret langit yang saat ini dipenuhi banyak bintang.

Bianglalapun mulai bergerak secara perlahan. Di dalam tempat yang cukup sempit ini, Devano dapat leluasa melihat bagaimana Sienna sekarang. Perhatiannya beralih ke tangan kanan Sienna. Ia langsung menarik tangan kanan dan menaikkan jaket yang Sienna pakai.

“Kamu masih suka self harm?!,” tanya Devano dengan sedikit membentak.

“Emang kenapa? Cuma ini satu-satunya cara yang bisa bikin gue tenang, Kak!”

“Tapi kamu udah janji buat berhenti lakuin itu, Na…”

Sienna terkekeh mendengar ucapan Devano. Bagaimana bisa ia berhenti menyakiti dirinya disaat hanya itu satu-satunya pelarian yang ia punya. Ia bahkan tak memikirkan lagi banyaknya luka dan bekas luka di tangannya. Baginya, itu adalah kesenangan tersendiri sejak ia berumur 15 tahun.

“Kak Vano”

“Iya?”

“Nyatanya, selalu ada satu hal yang harus kita korbankan untuk buat diri kita bahagia. Dan satu hal itu adalah tangan gue, Kak. Gue pengen terus bahagia dan itu baru bisa gue dapetin kalo gue bikin luka baru disini,” jawab Sienna sambil menunjukkan kedua tangannya kepada Devano.

“Tapi kamu lupa akan satu hal, Na. Kebahagiaan itu ga cuma dateng dari satu hal melainkan banyak hal. Kamu sendiri yang halangin jalan buat kebahagiaan itu dateng. Tau karena apa? Karena kamu terlalu menutup mata buat hal yang ada disekitar kamu, Na. Come on hidup kamu jauh lebih indah dari ini, Sienna.”

Sienna hanya bisa diam tanpa menjawab ucapan Devano.

Sore harinya setelah Samudra, Yuda, dan Jerry pulang dari kantor polisi, mereka langsung pergi ke rumah Karin untuk menceritakan semua kejadian ini ke ayah Karin.

Disana terlihat jelas raut wajah ayah Karin yang sangat murka setelah membaca berita yang beredar. Samudra yang terlebih dahulu membuka suara karena yang lain masih canggung dan takut untuk berbicara lebih dulu.

“Om, saya dan teman-teman saya izin untuk meminta maaf karena sudah lancang membuat kegaduhan ini tanpa minta izin ke om terlebih dulu. Kami bertiga siap menerima konsekuensi atas perbuatan kita yang membuat keluarga om mendapat masalah ini”

“Kenapa minta maaf? Justru saya harusnya berterima kasih kepada kalian karena sudah membantu saya untuk membongkar semua rahasia istri saya,” ucap Surya.

Karin hanya diam menatap ayahnya dan lanjut menatap Samudra yang juga sedang melihatnya. Tersirat raut khawatir di wajah laki-laki itu. Namun Karin abaikan karena menurutnya yang terpenting sekarang adalah kondisi ayah dan saudaranya.

“Kalian selidiki ini berapa lama?,” tanya Surya, ayah Karin dan Chesi.

“Dari empat bulan yang lalu om, tapi baru benar-benar selidiki semuanya itu sekitar dua bulan,” jawab Yuda.

“Makasih sekali lagi ya nak, maaf om tidak bisa ikut serta dalam penyelidikan ini karena keterbatasan waktu juga disana. Tapi om benar-benar salut sama kegigihan kalian untuk membantu anak saya, Karin. Sebenarnya om dari lama sudah ingin menuntaskan masalah ini tapi karena kerjaan om yang dipindahkan ke Amerika oleh ayahnya om, jadi harus om tunda sampai kepulangan om dulu. Nanti om janji secepatnya akan mengganti semua jerih payah kalian selama ini”

“Ga usah om, kita lakuin ini murni untuk bantu Karin supaya dapat keadilan aja om,” sahut Jerry.

“Oh iya om, maaf kalau saya lancang bertanya, tapi om benar-benar tidak kenapa kan atas perbuatan kita bertiga? Terutama saya, yang punya ide dibalik semua ini,” tanya Yuda.

“Engga apa nak, saya sudah dari lama sebenarnya tau kelakuan istri saya, tapi saya tidak pernah tau kalau Rena yang membuat istri saya meninggal, bahkan Karin yang hampir ia renggut juga nyawanya. Setelah hasil sidangnya keluar, saya juga akan menceraikan Rena”

“Beneran yah?,” Chesi akhirnya membuka suara setelah diam mendengar percakapan yang lainnya. Ia sontak terkejut mendengar ucapan ayahnya.

“Iya nak, maaf kalau ayah mengambil tindakan ini. Tapi Chesi tidak perlu khawatir karena kamu akan tetap jadi anak ayah, sama seperti Karin”

Chesi sangat terharu setelah mendengar ucapan ayahnya. Ia benar-benar bersyukur bisa dikelilingi oleh orang-orang yang baik di hidupnya. Walaupun jauh di lubuk hatinya, ia malu untuk tetap tinggal di keluarga Karin, apalagi mengingat perlakuan jahat orang tuanya ke keluarga Karin. Namun tidak ada salahnya kan kalau Chesi menikmati kebahagiaan ini sebelum akhirnya ia akan meninggalkan semuanya?

Samudra benar-benar mengendarai mobilnya dengan cepat sekarang. Puluhan pengendara lainnya bahkan tak lagi ia hiraukan. Pusat pikirannya hanya satu, yaitu Karin. Setelah mendapat pesan dari Karin, perasaan Samudra benar-benar tidak enak. Ia takut kalau terjadi hal yang tidak diinginkan ke gadisnya.

Samudra menepati janjinya kalau ia akan datang sepuluh menit lagi. Terbukti sekarang ia sudah ada di kediaman Karin. Rumahnya sepi dan Samudra yakin kalau Karin sedang sendirian di rumahnya.

“Karin!,” teriak Samudra memanggil Karin.

Ia langsung berlari ke kamar Karin setelah mendengar suara tangisan disana. Dibukanya pintu kamar Karin dan terlihat keadaan Karin yang sudah sangat berantakan.

Karin terduduk di lantai dengan tongkat yang terjatuh di samping tubuhnya. Suara tangisannya pun masih terdengar bahkan lebih kencang sekarang walaupun Samudra sudah datang.

“Hei, ada apa? Jangan nangis lagi, aku disini”

Dipeluknya lama tubuh mungil Karin sambil mengusap rambutnya. Tak lama, hanya isakan kecil yang terdengar sekarang.

Samudra pelan-pelan melepaskan pelukannya dan menatap lembut Karin. Mata gadis itu sembab dan rambutnya berantakan. Samudra belum berani bertanya tentang penyebab Karin menangis, ia lebih memilih menggendong Karin menuju kasur agar Karin lebih nyaman untuk duduk.

“Kak Sam… temenin aku dulu…”

“Iya, aku ga akan kemana-mana”

Mendengar itu Karin merasa lebih tenang. Setelah diam beberapa menit, Karin akhirnya tertidur pulas dengan tangan kiri Samudra yang masih ia genggam. Di sisi lain, Samudra mengusap pelan rambut Karin dan mengecup dahi gadisnya.

“Jangan sedih lagi, Karin.”

Mendengar orang di belakangnya mulai berbicara lagi, Jerry langsung cepat-cepat menghidupkan perekam suaranya. Sambil melihat keadaan disekitarnya, Yuda mengambil foto dari dua mantan pasangan di depannya.

“Rena, saya rasa saya akan mengakui semua perbuatan saya terdahulu ke Karin. Jujur saja saya selalu dihantui oleh rasa bersalah karena perbuatan jahat saya terhadap Karin”

“Saya tidak setuju! Kamu yakin mau nyerahin diri kamu gitu saja ke Karin? Hei James, pikirkan baik-baik hal yang akan kamu dapatkan setelah kamu mengakui ini semua ke Karin. Citra kamu akan rusak, bisnis yang sudah kamu bangun selama ini bisa saja bangkrut, dan tidak menutup kemungkinan kalau kamu akan dipenjara setelah ini. Saya juga tidak mau kalau sampai saya ikut terseret hal ini karena pengakuan dari kamu!”

“Tapi cepat atau lambat saya harus bilang yang sebenarnya, Rena! Saya tidak mau harus terus hidup dalam rasa bersalah saya”

“Kamu terlalu takut, James. Lihat saya, buktinya saya masih tenang-tenang saja sampai sekarang walaupun sudah mencelakai dua orang”

“Saya bukan kamu, Rena. Saya masih punya otak dan hati!”

“Kalau begitu, kenapa kamu mau waktu saya suruh untuk menabrak Karin? Kenapa tidak kamu tolak?”

“Saya lakuin itu semua karena tawaran yang kamu berikan ke saya, saya hanya ingin bertemu dengan anak saya, makanya saya setuju untuk membantu kamu! Tapi ternyata saya tertipu lagi oleh kamu, tawaran yang kamu berikan ke saya bahkan sampai sekarang belum kamu berikan.”

James mengakhiri kalimatnya dengan kekehan singkat. Ia menatap tajam perempuan dihadapannya. Ia sangat murka sekarang melihat tampang Rena yang sangat santai, seolah-olah masalah yang mereka perbuat bukan hal yang berat.

“Jadi orang jahat itu juga perlu, James, makanya saya dengan mudah mendapatkan semua yang saya inginkan”

“Tapi kamu tega buat mama kandungnya Karin meninggal karna kamu ingin merebut posisi dia!”

“Saya pernah bilang kan kalau saya akan melakukan apapun, yang penting saya bisa mendapatkan yang saya mau?”

“Kamu bukan manusia, Ren. Saya nyesal karena pernah berhubungan dengan orang keji seperti kamu.”

Rena hanya tertawa mendengar ucapan mantan suaminya ini. Ia juga mulai menghisap rokok yang ada di tangannya.

“Semuanya terlambat, James. Intinya sekarang, dengarkan saya kalau kamu tidak mau menyesal lagi. Tetap tutup mulut kamu dan jangan pernah ceritakan rahasia kita ke siapapun, saya yakin nantinya hidup kamu akan tenang seperti saya.”

James hanya diam saja setelah mendengar ucapan mantan istrinya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung bangkit dan pergi meninggalkan Rena sendiri. Di tempat duduknya, Rena hanya menatap kepergian James.

Baik Jerry maupun Yuda juga langsung siap-siap untuk pergi, namun mereka sengaja berdiam lebih lama karena tidak mau Rena curiga.

Tanpa Rena sadari, di belakang sana, Yuda diam-diam tersenyum senang karena akhirnya semua jawaban dari masalah ini terpecahkan.

Suasana restoran yang menjadi tempat bertemu James dan Rena cukup ramai malam ini. Mungkin karena malam minggu. Sebenarnya sudah lama baik Rena maupun James tidak bertemu secara langsung seperti ini, sehingga keadaan sekarang pun sangat canggung dan dingin.

Di sisi lain, Jerry baru saja datang dan hendak memasuki restoran yang diberi tahu temannya. Ia berjalan pelan-pelan sambil memegang kacamata serta membetulkan posisi topi yang di kepalanya. Setelah melihat kode dari temannya itu, ia langsung berjalan menghampiri mejanya. Ternyata ia duduk tepat di belakang meja orang tua Chesi.

“Udah lama?,” tanya Jerry.

“Belom”

“Saya mau bicarakan hal yang penting dengan kamu”

Itu Rena yang berbicara. Kini Jerry yang duduk tepat di belakang Rena, langsung mengeluarkan ponselnya dan bersiap untuk merekam semua yang mereka bicarakan.

“Hati-hati,” ucap teman Jerry.

Jerry mengangguk untuk membalas ucapan temannya. Kini mereka berdua hanya pura-pura sibuk namun sebenarnya mereka fokus mendengarkan ucapan orang tua Chesi.

“Kenapa kemarin kamu berani ketemu dengan Chesi? Bukannya kamu pernah bilang tidak akan menemui dia?,” ucap Rena.

Di depan sana, James dengan tenang menjawab, “Chesi sendiri yang tiba-tiba ada di depan apartemen saya. Saya memang tidak ada niat untuk bertemu dengan dia, tapi Chesi yang menghampiri saya lebih dulu”

“Kamu benar tidak membocorkan semua rahasia kita kan ke dia? Saya masih ragu dengan hal itu”

“Sudah saya bilang di chat kemarin bukan? Saya benar-benar tidak beri tahu rahasia kita sedikitpun ke Chesi!”

“Baguslah kalau gitu.”

Pembicaraan mereka berdua terpotong karena kini makanan yang dipesan oleh Rena dan James sudah datang.

“Silahkan dimakan dulu, kita lanjut setelah selesai makan,” sahut James.

Seketika Jerry langsung mematikan perekam suaranya. Ia juga memerhatikan sekitarnya, takut kalau tindakannya tadi dicurigai seseorang. Namun ia tidak terlalu khawatir karena kebetulan mereka duduk di kursi dekat dinding dan paling pojok, jadi memberikan sedikit akses bagi Jerry untuk melancarkan aksinya.

“Makanan kita udah sampai juga, makan dulu gih,” ucap Jerry.

“Oke,” balas Yuda.

haiiii