306; Kejadian Terulang


“Ngga ada yang ketinggalan kan?” Elin bertanya sekali lagi untuk memastikan apakah ada barang yang tertinggal sebelum ia dan Kalu berangkat menuju tempat pemotretan terakhir. Kalu menggeleng sebagai jawaban.

Selanjutnya, Elin mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mereka sengaja berangkat pukul 07.30 karena perjalanan ke sana menempuh waktu sekitar satu jam. Itu pun kalau tidak macet. Maka dari itu, Kalu yang memang memiliki kebiasaan datang tepat waktu, menyuruh Elin untuk menjemputnya pukul sekian.

“Tumben banget jalanan ga rame. Biasanya jam segini udah mulai macet.” Elin masih sedikit takjub menatap jalanan di ibu kota di hadapannya yang pagi ini cukup sepi. Pasalnya, mau hari libur sekalipun, jalanan akan tetap padat dengan kendaraan. Tapi syukurlah, setidaknya Elin bisa mengendarai mobilnya dengan santai dan lancar sampai tujuan mereka.

Sekarang beralih ke perempuan di sebelah Elin yang kini sedang sibuk mengunyah roti di mulutnya. Kalu dari tadi hanya diam dengan pikirannya yang didominasi oleh rasa panik dan takut. Ia menghela nafas sebelum kembali menggigit roti di tangannya.

“Lo gapapa?” Elin melirik sahabatnya yang seperti orang sakit. Tanpa bertanya pun, ia sudah tahu jawabannya. Sahabatnya ini memang pantas mendapat julukan si kepala batu, karena sikapnya yang keras kepala dan susah dikasih tahu. “Kita balik aja deh. Gue takut lo kenapa-napa nanti.”

Kalu sontak melotot ke arah Elin. Tentunya ia tidak setuju, mereka sudah setengah jalan, masa tiba-tiba harus pulang. “Apaan sih lo?! Gak, pokoknya ga ada pulang-pulang sebelum gue selesai photoshoot,” protes Kalu.

“Yeee, lagian lo, gue ajak ngobrol malah ga jawab. Tuh, muka lo juga pucat banget. Yakin tetep mau lanjutin photoshoot hari ini?”

“Yakin.”

Kalau sudah begini, Elin tidak bisa lagi untuk membantah omongan Kalu. Sekali keras kepala, akan tetap keras kepala. Salah satu watak yang sangat ingin Elin hilangkan dari diri sahabatnya itu. “Yaudah, tapi inget, kalo lo udah ngerasa ga enak badan, langsung kasi tau gue, oke?”

“Oke,” Kalu menjawab sambil mengacungkan kedua jempolnya ke Elin. Ia yakin kalau ia bisa. Karena kalau ia tidak mencoba melawannya sekarang, kapan lagi ia bisa terbebas dari trauma yang menghantuinya?

Kalu memang tidak pernah memberi tahu siapapun tentang trauma yang ia alami, selain ke Elin dan orang tuanya—-yang berada tepat di lokasi kejadian. Kalu saat itu berusia 12 tahun. Usia di mana dirinya masih cukup muda dan baru mulai menginjak masa pubertas. Masa di mana ia sering menghabiskan waktunya untuk liburan bersama keluarganya saat hari libur tiba. Tepat sehari setelah pengambilan rapot kenaikan kelas, Kalu dan orang tuanya menghabiskan waktu mereka dengan berenang di salah satu taman rekreasi air. Saat itu, setelah 2 jam lamanya ia bermain seluruh wahana yang ada di sana, Kalu yang hendak pergi menemui orang tuanya di salah satu gazebo yang mereka sewa, justru jatuh terpeleset ke dalam kolam arus yang memiliki kedalaman 1,75 meter.

Dengan kemampuan berenang yang belum seberapa dan tubuhnya yang pendek mengakibatkan Kalu kehilangan keseimbangan dan susah bernafas. Orang-orang yang ada di sekitar Kalu hanya berteriak histeris—-panik, bahkan kebanyakan dari mereka justru hanya menonton Kalu yang hampir tenggelam.

Di atas kolam, seorang anak laki-laki seusia Kalu, tanpa rasa takut langsung menyeburkan diri ke dalam kolam dan membantu Kalu. Baru setelah anak laki-laki itu masuk ke dalam kolam, para pria dewasa mulai ikut membantunya membawa Kalu ke atas kolam. Pemandangan yang sangat menjengkelkan, bahkan anak laki-laki tersebut hendak protes, namun ia urungkan karena keselamatan anak perempuan di hadapannya jauh lebih penting.

“Ya Tuhan, anakku!” Mama Kalu yang baru mengetahui info dari orang-orang bahwa ada anak perempuan yang tenggelam, seketika terdiam. Dengan instingnya yang kuat, ia segera berlari menuju keramaian yang ada jauh di depannya. Anak perempuan yang sedang dihebohkan di sana ternyata adalah Kalu, putrinya. Ia menangis sejadi-jadinya dan langsung memeluk Kalu. Sesekali ia menekan dada putrinya agar Kalu terbangun.

Tepat 5 menit setelahnya, Kalu akhirnya sadarkan diri dan mengeluarkan air yang mengendap di tubuhnya saat ia tenggelam. Orang-orang di sana akhirnya mengucapkan puji syukur dan beberapa ada yang berdoa mengucapkan terima kasih ke Tuhan. Mama Kalu langsung membawa putrinya ke dalam pelukannya, untuk menghangatkan tubuh Kalu.

“Mama... takut...,” isak Kalu dengan tubuh yang bergetar. Ia bahkan enggan untuk melihat ke dalam kolam renang di sekelilingnya. Dan detik itu juga, rasa takut mulai mendominasi dirinya. Dalam hatinya, Kalu bersumpah tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Para tim medis yang baru datang, langsung menggotong Kalu dan membawanya ke dalam ruangan yang disediakan di sana agar keadaan Kalu segera membaik.

Tanpa orang-orang sadari, anak laki-laki yang tadi menyelamatkan Kalu juga ikut bersama tim medis yang membawa Kalu dan disusul oleh orang tua Kalu. Di dalam sana, Kalu tengah meminum teh hangat yang diberikan dan tubuhnya tengah dibaluri minyak supaya tidak masuk angin. Sedari tadi, yang dilakukan anak laki-laki itu hanya mondar-mandir di depan ruangan Kalu. Sampai akhirnya, seseorang secara tiba-tiba mengejutkannya. “Halo, kamu lagi ngapain di sini?” tanya Mama Kalu.

“Halo tante, saya di sini mau ketemu anak tante, mau lihat kondisinya dia.”

“Kamu kenal anak saya?”

Anak laki-laki itu menggeleng. “Engga tan, tapi tadi saya yang bantu menyelamatkan anak tante.”

Mama Kalu seketika terkejut mendengar penuturan dari anak laki-laki di hadapannya. Ia pikir yang menyelamatkan Kalu adalah orang-orang dewasa yang ada di sana, namun ternyata ia salah. Dengan penuh haru, ia langsung mengizinkan anak laki-laki itu menemui Kalu dan membiarkan keduanya berbicara berdua.

Anak laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung harus berkata apa. Kalu pun sama sepertinya. Menatap laki-laki di depannya dengan raut bingung. “Ada apa?” Kalu akhirnya melemparkan pertanyaan padanya.

“Keadaan kamu gimana?”

“Belum baik,” Kalu menjeda ucapannya sebentar. “Kamu siapa?”

“Kenalin, aku Devano, orang yang menyelamatkan kamu tadi.” Anak laki-laki yang bernama Devano itu langsung mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Kalu.

Sama dengan respon mamanya tadi, Kalu ikut terkejut. Lantas, ia langsung menjabat balik tangan Devano yang dingin. “Makasih banyak ya, udah nolongin aku tadi. Oh iya, namaku Kaluela. Salam kenal.” Kalu berkata dengan tersenyum.

“Kalu istirahat dulu ya, Nak,” ucap mama Kalu yang baru kembali. Keduanya pun langsung melepaskan jabat tangan mereka. Tak lupa, Devano mengucapkan permisi kepada mereka dan segera meninggalkan ruangan agar Kalu bisa beristirahat.

“Yah... mama kenapa ngusir dia? Kalu padahal masih mau ngobrol sama dia.” Mama Kalu hanya terkekeh mendengar ucapan anak semata wayangnya. “Kalau dia masih ada di sini buat ngobrol sama kamu, nanti kamu sembuhnya lama, makanya mama suruh dia pergi supaya Kalu bisa istirahat. Ngobrolnya kan bisa dilanjut nanti.”

“Emang Kalu bakal ketemu dia lagi?”

“Mungkin?”

Ucapan terakhir dari mamanya menjadi doa yang selalu ia ucapkan setiap kali ia sedang berdoa. Walaupun kemungkinan mereka bertemu hampir tidak ada, namun, Kalu tetap percaya kalau suatu saat pasti ia akan bertemu lagi dengan anak laki-laki tadi. Cepat atau lambat.


“WOW BAGUS BANGET?!!” Elin berteriak cukup kencang saat melihat tempat pemotretan Kalu yang sangat indah. Suara teriakannya mampu membuat staff yang sedang menyiapkan kamera dan properti lain, menoleh ke arah mereka. Kalu yang menyadari itu langsung meminta maaf.

“Kalo ngomong tuh, jangan teriak-teriak, nanti orang lain keganggu,” umpat Kalu.

“Hehe sorry.”

Keduanya akhirnya menuju tempat yang sudah disediakan untuk meletakkan barang bawaan mereka. Di sana juga sudah ada Zean dan Mba Vera. Kalu langsung menyapa Zean dan berbincang-bincang sebentar dengannya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat 45 menit, Mba Vera langsung mengarahkan Kalu dan Zean untuk mengganti pakaian mereka di ruangan yang sudah disediakan.

Kalu yang duluan selesai karena pakaian yang ia gunakan tidak ribet. Hanya long dress yang diberikan aksen pita di belakangnya. Ia lantas mengalihkan pandangannya ke tempat di mana ia akan melakukan pemotretan. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kolam renang, namun jika ia mundur ke belakang sebanyak empat langkah, dapat dipastikan detik itu juga dirinya sudah ada di dalam kolam.

Cukup mengejutkan sebenarnya, karena dulu Kalu bersikeras tidak akan pernah datang ke tempat yang berisi kolam renang di dalamnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menghilangkan rasa cemasnya dan mulai mencoba kembali seperti dulu, walaupun kejadian saat ia tenggelam dulu masih terekam jelas di pikirannya.

Lamunannya terbuyar saat suara Elin memanggilnya. “Kalu, lo baik-baik aja kan?”

Kalu mengangguk dan tersenyum. Ia kembali meyakinkan Elin dan dirinya sendiri kalau ia mampu menjalani pemotretan hari ini dengan lancar.

“Gue bakal ada di samping lo, jadi lo ga perlu takut apa-apa ya.”

“Iyaaaa Elin.”

Sesi pertama photoshoot berjalan dengan lancar, begitu juga dengan sesi kedua. Zean langsung memuji Kalu yang terlihat sangat memukau di hasil photoshoot mereka tadi. “Hahaha lo juga keren banget!” puji Kalu.

Kini mereka sedang beristirahat 10 menit sebelum masuk ke sesi pemotretan ketiga sekaligus yang terakhir. Pemotretan hari ini memang tidak lama karena jam sewa beach club ini hanya dua setengah jam, jadi sebisa mungkin mereka harus cepat menyelesaikan photoshoot. Kalu merasa bangga atas dirinya. Rasanya, seluruh bayangan dan skenario buruk yang ada di otaknya tadi pagi, seketika menghilang saat ia berhasil menyelesaikan dua sesi pemotretan dengan lancar. Elin juga tak ada hentinya memberikannya kata-kata penenang yang membuat Kalu semakin rileks menjalani photoshoot.

“Hai, cantik,” sapaan Devano membuat Kalu terkejut. Akhirnya, orang yang dari tadi ia tunggu datang juga.

“Lama banget sampenya,” protes Kalu dengan nada yang pura-pura marah. Bukannya takut, Devano justru tertawa dan menarik kursinya mendekat ke kursi Kalu. “Jalan pulang dari bandara tadi macet, makanya aku lama sampenya.”

Kalu hanya mengangguk mendengar jawaban Devano. “Kamu cantik banget,” puji Devano tanpa mengalihkan pandangannya dari Kalu. Walaupun Kalu sudah sering mendengar pujian Devano yang menyebut dirinya cantik, namun, ia selalu salah tingkah dan wajahnya langsung merah seperti kepiting rebus.

“Kalu, udah waktunya photoshoot.” Kalu langsung bangun dari duduknya dan segera menuju ke tempat tadi untuk melakukan pemotretan sesi terakhir. Tak lupa, Devano juga mengucapkan semangat kepadanya. Ah, rasanya Kalu benar-benar bahagia sekarang. Tapi baru saja berpikir demikian, dirinya langsung diseret Elin menjauh. “ Eh, kenapa?”

“Hati-hati, Clara ada di sini. Lo ngerti maksud gue kan?” Elin berucap dengan sangat pelan sambil terus memperhatikan Clara yang tiba-tiba datang seperti tamu tak diundang. Kalu meneguk ludahnya kasar. Ia berharap sampai photoshoot terakhir nanti, dirinya tetap baik-baik saja.


It's a wrap!!!” teriak semuanya. Akhirnya photoshoot yang mereka lakukan selama seminggu penuh berakhir.Setelah pemotretan berakhir, semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk berfoto-foto untuk mengabadikan momen ini. Ada yang sibuk memesan makanan dan minuman. Ada yang sibuk merapikan kamera dan properti. Dan masih banyak lagi. Devano langsung menghampiri Kalu yang sedang mengobrol dengan salah satu staff.

“Cie, udah selesai juga nih photoshootnya,” gurau Devano.

“Hahaha iya, akhirnya aku bisa bangun siang lagi sekarang.” Devano sontak tertawa.

Elin yang saat ini merasa kalau Kalu sudah aman karena ada Devano di sisinya, langsung pamit menuju ruang wardrobe yang perlu ia rapikan. “Gue ke ruang wardrobe dulu ya, lo jangan jauh-jauh dari Vano.”

“Siap,” jawab Kalu dengan satu tangan di samping dahinya seperti orang yang lagi hormat.

Dari arah samping, seseorang menghampiri mereka berdua, dengan sok akrab, Clara menyapa Kalu. “Hai Kalu, selamat ya photoshootnya berjalan lancar.” Jangan lupakan senyuman manis palsu yang terpampang di wajah Clara.

Kalu hanya tersenyum canggung merespon ucapan Clara. Merasa pacarnya tidak nyaman, Devano langsung merangkul pinggang Kalu dengan posesif. Hal itu tentu saja membuat Kalu terkejut. Sebelum Kalu protes untuk minta dilepaskan, Devano sudah berbicara terlebih dahulu. “Sorry Clar, gue sama cewe gue mau makan dulu ya.”

Clara yang sedari tadi sudah menyadari gerak gerik Devano hanya bisa menyunggingkan senyumnya. “Oh oke, tapi tadi Mba Vera mau ngajak Kalu fotoan.”

“Beneran?”

“Iya.”

Tepat setelahnya, Mba Vera datang dan benar saja, ia langsung mengajak Kalu berfoto. Tanpa keraguan sedikitpun Kalu langsung melepaskan rangkulan Devano dan pergi sedikit menjauh untuk berfoto dengan Mba Vera. Posisi Kalu dengan Mba Vera kini benar-benar di pinggir kolam. Ketakutan Kalu tiba-tiba saja kembali muncul. Ia sudah meminta Mba Vera agar sedikit menjauh dari kolam, namun, kata Mba Vera, cahaya di sini bagus untuk fotoan. Mau tidak mau Kalu tetap menurut. Clara juga mulai menghampiri mereka dan duduk di kursi yang berada di sebelah Kalu berdiri.

“Coba Kalu agak ke kanan supaya Mba Vera ngga terlalu silau,” ucap staff yang memotret Kalu dan Mba Vera. Kalu yang sudah takut sejak awal, langsung bergeser ke kanan dengan hati-hati. Ia bahkan sudah tahu celah yang tepat agar dirinya tak jatuh ke dalam kolam. Apabila bergerak selangkah ke belakang, sudah dipastikan ia akan jatuh. Tapi karena saat ini ia hanya bergeser sedikit ke kanan, seharusnya aman-aman saja. Namun naasnya, kakinya tersandung. Kalu seketika kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke dalam kolam. Sontak hal tersebut menjadi perhatian seluruh orang yang ada di sana. Dengan cepat, Devano menyeburkan dirinya ke dalam kolam dan berusaha meraih Kalu.

Saat tahu dirinya jatuh ke dalam kolam, dada Kalu seketika sesak, bahkan untuk menggerakkan kakinya pun ia tidak bisa. Ia deja vu. Pandangan Kalu menggelap. Namun, saat itu Devano berhasil meraih Kalu dan segera membawanya ke tepian. Tanpa menghiraukan orang-orang di sana yang sedang berteriak histeris, Devano segera memberikan nafas buatan untuk Kalu. Berkali-kali ia mencoba membangunkan Kalu sampai akhirnya berhasil. Kalu terbangun dengan raut wajah yang susah diartikan. Tapi satu yang Devano tangkap, Kalu sangat ketakutan.

Tanpa mengulur waktu untuk menunggu ambulans datang, Devano sudah lebih dulu menggendong Kalu dan membawanya ke mobil untuk diantarkan ke rumah sakit.

Semua yang ada di sana langsung berbisik dan membicarakan Kalu. Namun, satu orang di sana justru sama sekali tidak tertarik membahas kejadian menghebohkan tadi. Yang ada dipikirannya saat ini hanya satu, ia berhasil membuat Kalu jatuh ke dalam traumanya.