57; Bianglala dan Sienna.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, tetapi gadis yang sudah ditunggu-tunggu oleh Devano tak juga kunjung menampakkan dirinya. Berkali-kali ia mencoba menelfon dan mengirimkan pesan pada Sienna, namun tetap tak mendapat jawaban. Pikiran Devano sudah kalang kabut sekarang karena pasiennya itu adalah gadis yang sangat ceroboh dan nekat, itulah sebabnya pikiran negatif terus bermunculan di otak Devano.
“Berhenti nelpon gue, bisa ga?” ucap gadis dengan pakaian sangat nyentrik yang saat ini sudah berada di pintu ruangan Devano.
“Kamu kenapa baru dateng jam segini, Sienna?”
“Habis mampir beli rokok.”
Devano yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas. Sudah bukan hal asing baginya kala mendengar kalau Sienna adalah perokok. Sebenarnya sudah sering Devano mengingatkannya untuk berhenti merokok, apalagi mengingat umurnya yang masih cukup muda, tapi tetap saja Sienna tidak akan pernah melakukannya.
“Kak, gue sebenernya ga mau konseling hari ini. Tapi ada satu hal yang harus lo tau!”
“Apa?”
“Papa gue beliin kado ulang tahun buat gue, Kak!” sorot mata Sienna tidak bisa berbohong kalau gadis itu sangat bahagia saat ini.
Devano tersenyum melihatnya. Pasalnya, setelah apa yang sudah dilalui Sienna selama ini, wajar sekali kalau gadis itu terlihat bahagia. Bahkan hal sekecil papanya mengajaknya berbicara saja sudah mampu membuat gadis dengan rambut hitam panjang di hadapan Devano ini bahagia.
Sienna kemudian bangkit dari duduknya dan mengeluarkan dua buah tiket dari dalam tasnya. Devano kemudia bertanya, “Itu tiket apa?”
“Tiket buat ke pasar malam. Jadi tadi itu gue mampir ke pasar malam dulu buat beli tiket makanya gue telat, Kak”
“Terus?”
“Ayo ke pasar malam! Gue pengen naik bianglala trus beli permen kapas,” soraknya dengan antusias.
Sienna mencoba membujuk Devano agar menemaninya kesana. Walaupun Sienna sebenarnya bisa jalan-jalan sendiri tapi untuk malam ini biarlah ia bersama seseorang kesana. Hitung-hitung sebagai traktiran karena hari ini ia sedang bahagia.
“Yaudah, aku mau, tapi satu jam aja gapapa?”
“Iya gapapa.”
Kini keduanya sama-sama berangkat ke pasar malam menggunakan mobil Devano. Berbicara mengenai Sienna, ia adalah anak tunggal dari pasangan yang cukup terkenal karena bisnisnya. Namun, ibu Sienna sudah meninggal sejak ia masih berumur 4 tahun karena sakit jantung yang dideritanya. Karena itulah ayah Sienna merasa kesal dan benci kepadanya, sebab ayahnya merasa istrinya meninggal karena mengandung dan melahirkan Sienna.
Maka seperti inilah Sienna sekarang. Di umurnya yang baru menginjak 21 tahun, ia sudah terbiasa hidup sendiri. Bahkan ia hanya sekolah sampai SMA saja karena baginya tidak ada gunanya berkuliah sebab ia sendiri tidak memiliki cita-cita sebagai tujuan hidupnya. Selain itu, ia merasa nyaman dengan kehidupannya yang sudah lebih dari cukup karena walaupun ayahnya jarang berbicara dengannya atau menemuinya, tetapi ia tetap rajin memberikan uang jajan kepada Sienna.
Malam ini langit begitu indah. Sienna berjalan terlebih dahulu ke pasar malam dan meninggalkan Devano yang masih sibuk memarkirkan mobilnya. Di dalam sana, Devano bingung mencari Sienna karena ramainya pasar malam. Tapi setelah berada di lokasi bianglala, ia langsung menemukan Sienna. Gadis itu sedang mengantre untuk masuk ke dalam sana.
“Kak Vano, sini!,” teriak Sienna.
Devano langsung menyalip antrian setelah dipanggil oleh Sienna. Setelah masuk ke dalam bianglala, Sienna langsung mengeluarkan ponselnya dan memotret langit yang saat ini dipenuhi banyak bintang.
Bianglalapun mulai bergerak secara perlahan. Di dalam tempat yang cukup sempit ini, Devano dapat leluasa melihat bagaimana Sienna sekarang. Perhatiannya beralih ke tangan kanan Sienna. Ia langsung menarik tangan kanan dan menaikkan jaket yang Sienna pakai.
“Kamu masih suka self harm?!,” tanya Devano dengan sedikit membentak.
“Emang kenapa? Cuma ini satu-satunya cara yang bisa bikin gue tenang, Kak!”
“Tapi kamu udah janji buat berhenti lakuin itu, Na…”
Sienna terkekeh mendengar ucapan Devano. Bagaimana bisa ia berhenti menyakiti dirinya disaat hanya itu satu-satunya pelarian yang ia punya. Ia bahkan tak memikirkan lagi banyaknya luka dan bekas luka di tangannya. Baginya, itu adalah kesenangan tersendiri sejak ia berumur 15 tahun.
“Kak Vano”
“Iya?”
“Nyatanya, selalu ada satu hal yang harus kita korbankan untuk buat diri kita bahagia. Dan satu hal itu adalah tangan gue, Kak. Gue pengen terus bahagia dan itu baru bisa gue dapetin kalo gue bikin luka baru disini,” jawab Sienna sambil menunjukkan kedua tangannya kepada Devano.
“Tapi kamu lupa akan satu hal, Na. Kebahagiaan itu ga cuma dateng dari satu hal melainkan banyak hal. Kamu sendiri yang halangin jalan buat kebahagiaan itu dateng. Tau karena apa? Karena kamu terlalu menutup mata buat hal yang ada disekitar kamu, Na. Come on hidup kamu jauh lebih indah dari ini, Sienna.”
Sienna hanya bisa diam tanpa menjawab ucapan Devano.